METAFISIKA: FILSAFAT ANTROPOLOGI
METAFISIKA
Age-ugu, Uwoo
oleh, Marius Goo
“Age-ugu, uwoo”
berarti (bhs Mee: tempat tidur,
tungku api dan atap rumah). “Age-ugu
dan uwoo” merupakan satu kesatuan
yang tak terpisahkan. “Age-ugu, uwo”
dipahami sebagai keluarga batih. Tetua memperingatkan agar “Age-ugu dan uwoo”
diperjuangkan untuk tetap kuat, rapi dan teratur. “Age-ugu dan uwo” harus kelihatan indah. Keindahan bukan
berdasarkan indra mata semata, melainkan juga karena sungguh dialami.
“Age-ugu, uwoo”
merupakan simbol keluarga (Goo Emanuel & Goo Vitalis: 2016). Simbol ini
diambil dari sebuah rumah “owa.” Owa
yang sehat tidak bisa dilupakan salah satu. Setiap “owa” wajib memiliki “age-ugu,
uwo.” “Age-ugu, uwo” memiliki
karakteristik dan fungsi masing-masing, walaupun merupakan owa. Ketiga bagian
ini menduduki unsur sentral dari sebuah “owa.”
Jika ketiga unsur ini lengkap, owa tetap kokoh dan manusia yang berlindung di
dalam akan merasa nyaman. “Age-ugu dan uwoo” ditata sedemikian rupa sehingga
penghuni merasa at home.
“Age-ugu dan
uwoo”
merupakan metaphor dari keberadaan suami-istri. Istri menjadi “age-ugu” dan suami menjadi “uwoo.” Dalam rumah, istri hari “katai mutai” artinya (istri harus
menjadi dasar kehidupan keluarga). Perempuan menjadi “age” berarti tidak meninggalkan rumah, mencintai tempat tidur
dengan sepenuh hati. Arti lebih dalamnya, mencintai keluarga secara mendasar.
Jika “age” pergi atau “age” tidak ada, suami dan anak-anak
akan mengalami kemalangan, kekacauan, tidur tidak nyenyak “odogo pekogo.” Perempuan juga menjadi “ugu.” Perempuan menjadi “ugu”
berarti seorang parempuan tidak bisa lari dari “tungku api.” Tungku api
mengandaikan terlaksananya pengelolaan makanan. Tanpa tungku api, makanan tak
mungkin diolah. Jika makanan tidak diolah keluarga kelaparan. Jika keluarga
kelaparan, keluarga akan menjadi kacau. Melalui santap bersama dari hasil
pengelolaan sang mama dalam keluarga, makin menumbuhkan rasa kekeluargaan yang
mendalam.
Kedamaian,
keharmonisan keluarga ditemukan ketika seorang mama menjadi “age-ugu” dalam rumah. Kedamaian yang
diciptakan dalam rumah semakin memperkuat kesaling-cintaan antar anggota
keluarga. Dengan kedamaian itu pula, sulit terjadinya perpecahan dan
perceraian. Kesatuan, dan ketakterceraian terjadi dalam “age dan ugu”
“Age-ugu”
berkaitan dengan kebutuhan makan minum dan seksualitas. Seorang perempuan
berjuang untuk memenuhi kebutuhan jasmani secara sempurna, agar tidak
terhalangi untuk mencari dan mendapatkan sesuatu yang lebih tinggi dan lebih
dalam. Bagi orang Mee, mendapatkan
sesuatu yang lebih tinggi, bermula dari kemapanan hidup dalam keluarga dan di
dunia nyata (Yosep Bunai: Skripsi STFT “Pajar Timur,” 1995). Keselamatan di
dunia sepenuhnya dikerjakan oleh tangan manusia, perempuan adalah “kabo” artinya (dasar) keselamatan di
dunia itu.
Laki-laki
menjadi “uwoo.” Memahami “uwoo” berkaitan dengan apa yang ada,
juga diletakkan di “uwoo.” Di “uwoo” terdapat “kido” (kayu palang). Kayu palang itu berfungsi untuk menyimpan
kayu bakar. Bagi manusia Mee kayu
bakar amat penting. Tanpa kayu bakar, manusia mee tidak bisa masak, tidak bisa
makan, akan kedinginan, lapar dan bahkan mati. Manusia Mee dapat mengelolah
makanan dengan tungku api. Untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar, laki-laki
(suami) harus berjuang untuk mengadakan kayu bakar. Kayu bakar yang baik, cepat
menyala dan memiliki kualitas api yang baik dapat menyukakan hati sang istri. Sebaliknya
kayu bakar yang tidak baik, apalagi tidak ada, sang istri akan marah.
“Uwoo”
secara lebih dalam berkaitan dengan perlindungan. Seorang bapak melindungi apa
yang ada dalam rumah, melindungi anak dan istrinya. Karena laki-laki memiliki
posisi di atas sebagai kepala keluarga. Memiliki posisi ideal bukan untuk
menguasi, memerintah dan menindas istri juga anak, namun memikirkan ke mana
keluarga akan dibawa, baik kini mau pun kelak. Tugas perempuan jelas bahwa ia
berjuang sedemikian rupa sehingga jangan mengalami kekurangan di dunia,
berjuang agar keluarganya dapat selamat di dunia. Tugas suami adalah memikirkan
bagaimana keluarga dapat selamat pada hari kelak. Kerena itu, tugas seorang
laki-laki lebih kepada kosep, intelek, ide, gagasan-gagasan brilian untuk
berjuang mengeluarkan keluarga dari keterpurukan dan dosa. Bagi orang Mee sangat disayangkan, jika hal ini
tidak dipahami.
“Age-ugu, uwoo”
merupakan pengungkapan bentuk kesatuan, kerja sama dan cinta kasih mesrah
suami-istri. Bahwa seorang istri memenuhi seluruh kebutuhan dunia, sedangkan
seorang suami memikirkan masa depan, masa eskaton, sambil menganalis,
mengkritisi dan merefleksikan perjalanan keluarga, sejarah dan harapan.
Memenuhi kebutuhan sekarang dan mempersiapkan kelayakan hidup masa depan,
terletak atau ada dalam “age-ugu dan uwoo.” Slogan, “ibai-naubai enakai agiyoma, ayitai mana age
duba naubai ugu duba naubai” diartikan secara lurus (kebaikan dan keselamatan ada di dalam tempat
tidur, ada di dalam tungku api dan atap rumah, ada di dalam rumah, mari kita
mencari di dalam).
Kebajikan
terdapat di dalam “age-ugu, uwoo.”
Kebijaksanaan harus dicari dan ditemukan di dalam rumah. Di dalam rumah tidak
dipahami semata-mata rumah pribadi, namun dapat dipahami juga tanah air. Apa
yang baik dan apa yang suci ada bersama kehidupan. Setiap kehidupan
mencerminkan kesucian. Kesucian mencerminkan kesatuan, sebagai paguyuban hidup.
“Age-ugu, uwo” mesti mencerminkan
komunitas kehidupan. Kehidupan dihidupkan dari dalam “inner living.” Kehidupan milik semua orang, setiap manusia.
Tentang kehidupan harus dirayakan dari dalam “age-ugu, owaa.” Kehidupan dirayakan dengan canda-tawa, berkumpul
bersama dan berbagi.
“Age-ugu, uwoo”
menjadi “Uguwoo” artinya (bhs Mee:
artinya keluarga). “Uguwoo” dari
kata, “Ugu” berarti (tungku api) dan “Uwoo” artinya (atap rumah). Sebuah
rumah mencerminkan keluarga. Bagi manusia Mee
setiap keluarga wajib memiliki “Owa.”
Keluarga yang tidak memiliki “owa” adalah
bukan keluarga. Identitas keluarga terdapat di dalam “owa.” Ukuran manusia Mee,
kekurangan yang lain tidak menjadi persoalan berat, yang terpenting tersedia “owa.” Ukurannya bahwa manusia dapat
beraktivitas, berkreasi berawal dari “owa.”
“Owa” adalah satu kebutuhan mendasar
yang tidak dapat ditiadakan.
“Age-ugu, uwoo”
mencerminkan kesatuan, tunggal, dalam versi Jawa “Manunggaling Kawula Gusti,” ketakterpisahan satu akan yang lain.
Filsuf Yunani memikirkan kesatuan-kasatuan “nomen-nomen” (K. Bertens:2016).
Kesatuan itu melekat dan mengikat individu-individu (Bertrand Reusell: 2016). “Age-ugu, uwoo” menjadi satu, terikat
sempurna sebagai satu bagian dari “owa.” Banyak perkakas, perabot namun
dipahami dalam kesatuan sebagai “owa.” Banyak anggota namun satu tubuh. Semua
yang hidup merupakan bias, keluasan dari satu sumber kehidupan. Semua yang
bergerak, digerakan oleh penggerak utama bebagaimana dikatakan Thomas Aquinas
(James Garvey: 2017). Manusia melakukan kebajikan karena kebajikan adalah
kodrat sebagai manusia.
Kebajikan
dihidupi dalam kebersamaan sebagai satu kesatuan, sosialis-komunisme yang
diperjuangkan kaum Marxis melawan kapitalis dan industrialis. Kebajikan akan
dirasakan ketika sesama yang lain menunjukan kebajikan sebagai manusia. Wajah
manusia yang ditujukkan secara polos, mengundang setiap individu untuk
bertanggung jawab atasnya Levinas mengudandang untuk merawat sesama. Wajah yang
ditujukkan tanpa kata dan komentar menundang untuk harus berelasi. Berelasi
tanpa kata, demi kemanusiaan dan keselamatan. Wajah manusia akan hadir dalam
beraneka rupa. Wajah akan ditampakkan juga dalam peran dan fungsi yang beragam.
Dalam kebutuhan dan kerinduan yang harus dipenuhi. Semua wajah itu memiliki
harapan untuk ditanggapi.
Wajah
akan ditemukan dari dalam rumah, saya sebagai rumah pribadi “ainiki anikida owa” dan rumah milik
keluarga “uguwoka owa.” Dari dalam
rumah manusia Mee berpikir, “Uguwoo duba make dimi miyogamaikai,” (Marten
Bunai, 2016, 42) Mereka adalah anggota keluarga yang harus diperhatikan. Wajah
setiap anggota, dalam “age-ugu, uwoo”
yang sama saling menunjukkan keprihatinan, perasaan dan kerinduan. Perasaan
tentu sama sebagai manusia (Sigmund Freud: 2017). Kebutuhan pasti beraneka,
tetapi sisi tertentu sama. Semua merindukan keselamatan, kebaikan yang sama. Di
antara setiap individu harus mempertanggungjawabkan kehidupan ini. Keluarga
menghadirkan diri sebagai satu situasi utuh (satu ikatan emosional). Manusia
memutuskan, memilih dan melaksanakan diri bersama dengan yang lain sebagai satu
situasi utuh dan harmonis, (Anton Bakker, Antropologi Metafisika: 2008).
Daftar
Putaka
Bakker,
Anton, Antroppologi Metafisika: Kanisius, Yogyakarta, 2008
Bertens,
Metafisika, Kanisius, Yokyakarta, 2016
Bunai,
Marten, Filsafat Dimi Gai, Bintang Gratifika Brilian, Jayapura, 2016
Goo,
Emanuel & Goo Vitalis, Ajaran Leluhur Mee: Daa dan Diyo Dou, Kanisius,
Yogyakarta, 2016
Garvey,
James 20 Karya Filsafat Terbesar, Kanisius, Yogyakarta, 2017.
Hall, S.
Calvin, Naluri Kekuasaan: Sigmund Freud, Narasi & Tarawang Press,
Yogyakarta, 2017
Russell, Bertrend,
Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan kondisi sosio-politik, zaman kuno
hingga sekarang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2016
Komentar
Posting Komentar