METAFISIKA: OWAADA
OWAADA
(Goo, Egedy)
“Owada” berarti
(bahasa Mee: rumah berpagar). “Owada”
terdiri dari dua kata, yakni “Owa dan Eda.” “Owa” artinya rumah, sedangkan “eda”
berarti pagar. “Owada” mengimpan
makna terdalam dari kehidupan manusia dalam konteks suku Mee, Papua. “Owaada” tidak hanya sebatas pagar rumah.
Tidak hanya perbincangan soal pagar. “Owada”
menyangkut keseluruhan kehidupan. Dalam “owada”
dapat ditemukan tentang keilahian juga yang profan.
“Owada” selalu menjadi gerakan bersama
dari suku bangsa Mee. “Owaada” adalah jati diri orang Mee. Siapa itu manusia Mee ditemukan dalam owada. Manusia Mee yang tidak memiliki “owaada” dinilai sebagai pribadi yang
belum berakar. Jadi “owaada” adalah
akar dari manusia Mee. “Owada” merupakan budaya Mee. “Owaada” dihidupi turun-temurun. Hanya dalam “owaada,” manusia Mee akan menemukan eksistensi dirinya. Segala
nilai, juga makna hidup diperoleh di sana. Di sana di atur tata nilai, aturan
dan norma. “Owada” merupakan tempat
perlindungan, sekaligus batu pijakan. Karakter, moralitas dan iman manusia Mee dapat terbentuk dalam “owaada.”
“Owa” artinya rumah. Rumah tidak sebatas
fisik, bentuk bangunan yang dimulai dari pondasi sampai atap. Menurut manusia Mee, “owa” berarti rumah dan seisinya. “Owa” dipahami dalam keseluruhan, perabot, barang-barang yang ada di
dalam, manusia juga penunggu atau penjaga rumah. Penjaga rumah disebut dengan “owaniya.” “Owaniya” (penjaga rumah) adalah satpam yang tidak pernah lelah
untuk menjaga dan melindungi seisi rumah. Owaniya terdiri dari dua kata, yakni
“owa” artinya (rumah) dan “eniya” artinya (setan, penunggu).
“Owa” melambangkan keluarga. “Owa” juga melambangkan jati diri,
terlebih jati diri sebagai seorang laki-laki. Seorang laki-laki wajib memiliki
owa. Laki-laki yang tidak memiliki rumah dijuluki perempuan. Karena itu, “owa” berkaitan dengan hak ulayat,
kepemilikkan. “Owa” dan budaya
patriarkat terletak di sini. Seorang laki-laki mendidirikan rumah di atas tanah
asal, tanah warisan. Sedangkan perempuan pergi ke tanah asal dari suami.
Istilah yang dipergunakan, “yagamoko owa
ubaya, makiubaya” artinya (perempuan itu pencari rumah, pencari tanah).
Sedangkan laki-laki menjadi pewaris tanah leluhur, istilah manusia Mee “yameke,
woyago boo badi-badi.” Laki-laki mendirikan “owa” di atas bekas “owa”
dari sang ayah, sebagai ungkapan pewarisan hak ulayat.
Filosofi
manusia Mee, jika “owa” sudah dibangun, wajib dikandangkan,
atau dipagari. kebijaksanaan “owa edage
awi” artinya (pagari rumah) dari pengungkapan dapat dimengerti sebagai
“perintah langsung” untuk memagari rumah yang ada. Namun juga terdapat unsur tersirat: Adalah
melindungi rumah dari serangan luar, terutama dari binatang. “Owa” tanpa “eda,” orang Mee
menyimbolkan “owato pigu-pigu” artinya
(rumah telanjang). “Eda” dipahami
sebagai pakaian, baju dari rumah. “Eda”
melindungi, menyembunyikan kesakralan rumah. “Owa” dipahami sebagai jati dirinya. “Owa” yang telanjang menyimbolkan diri sebagai telanjang. Penyebab
ketelanjangan beraneka corak. Salah satu dari semua itu adalah ketidakmampuan
diri untuk memagari, menjaga diri. “Eda”
adalah simbol kekuatan, pelindung, dasar dan pembatas kepemilikkan.
“Eda” menjadi kebutuhan utama dan terpenting
bagi manusia Mee. “Eda” memiliki makna sama dengan “owaniya,” artinya (pelindung rumah). “Eda” itu pelindung rumah dan kebun.
Rumah atau kebun yang tak berpagar mudah dimasukki oleh penjahat. Penjahat
dalam arti pencuri, juga binatang. Binatang yang paling dominan adalah “ekina” artinya (babi). “Ekina” liar masuk merusak kebun dari
masyarakat sekitarnya yang tak berpagar.
“Eda” tidak semata-mata eksklusif sebuah
keluarga. Bukan tembok penutup bagi sesama, melainkan upaya perlindungan
keluarga atas serangan yang memecah belah, hama yang merusak kebun dan tanaman.
“Eda” dalam arti terdalam adalah
“kekekebalan tubuh,” untuk menjamin kelangsungan hidup yang lebih aman dan
sejahtera. Seorang Mee akan terbantuk
kepribadidan dalam “eda” untuk
menemui dan berjumpa dengan sesama. Kesiapan diri manusia Mee ditemukan di dalam “eda.”
“Owaada”
merupakan simbol identitas diri. “Owaada”
menunjukkan keutuhan, kesempurnaan diri. kesempurnaan rohani jasmani ditemukan
dalam “owaada.” “Owada” menjukkan kesempurnaan yang membahagiakan. “Owaada” merupakan “surga” yang dialami
manusia Mee di dunia. “Owaada” menjadi “kabo” artinya (dasar) yang menjiwai kehidupan. Karakter manusia Mee tercipta di dalam “owaada.”
“Owaada”
adalah kehidupan. Semua ternak, tanaman dan manusia ada dalam “owaada.” Kehidupan dipelihara dalam
owada. Jika “owaada” hancur,
kehidupan menjadi terancam. Dalam “owaada”
terdapat ajaran luhur para tetua, termasuk “Ugatamee”
artinya (Allah) yang diyakni. Bagi orang Mee,
Allah diperkenalkan secara utuh dalam “owaada.”
Manusia, “owaada,” Allah dan
kehidupan tidak dipisahkan. Semua unsur terkandung dalam “owaada.” “Owaada” menjamin
kesehatan jasmani dan rohani.
“Owaada” adalah sumber kehidupan,
sebagaimana filsuf Yunani yang mulai mencari asal usulnya dalam alam. Tomas
Aquinas memperkenalkan Tuhan Pencipta melalui lima jalan. Orang Mee mengenal
Tuhan dalam kehidupan nyata melalui “owaada.”
Sartre (1905-1938) mengatakan yang
tertinggi adalah kehidupan batin, pengalaman, kesadaran dan rasio (Kalvin
O’Donell: 2017, 36). Heideger memperkenalkan apa yang menjadi essensi dan
eksistensi dari kehidupan (K. Bertens, 2008). Tentang essensi dan kesistensi
manusia Mee menemukannya dalam “owaada.” Nietzsche mulai memproklamirkan
manusia sebagai yang terutama, pertama dari segala sesuatu, sedangkan bagi
orang Mee semua menjadi terpenting,
semua ada dalam satu keutuhan “owaada”
tak dipisahkan satu dari yang lain. Masa eskaton tidak semata-mata masa depan,
surga terselenggara dalam “owada.”
Dalam
“owaada,” manusia Mee menemukan potensi dan aktualitas (Anton
Bakker, 1995), sekaligus yang kodrati dan supranatural (relasi) kata juga kenyataan
(soepomo: Filsafat Bahasa). Para pemilik budaya membentuk satu ikatan emosional
yang tak terpisahkan. “Owaada” lebih
mengajarkan relasi sebagaimana Levinas, Gabriel Marcel menjadi pionir.
Kebahagiaan ditemukan dalam “owaada,”
di mana bahagia sama dengan sehat dan kuat (Armada Ryanto: 2017, 55), sebab
dari sana akan membangunan hubungan, antara manusia dengan “Ipuwe” (Penjaga: Allah). “Owaada” menjadi essensi hidup orang Mee. Di sana manusia Mee melakukan relasi dengan segala yang
ada dan Mengada (Johanis Ohitimur, Obor: 2006, 47-102).
Dalam
“owaada” mengajarkan kebijaksaan. Di
sana terlaksana kebajikan hidup, menjaga keharmonisan antara Manusia – Allah –
ciptaan lain. Allah menjadi kebijaksaan tertinggi, bahkan Aqunas melihat Allah
sebagai Kebijaksanan itu sendiri (Ryanto Armada: 2017, 48-54). Di dalam “owaada” manusia terobati secara jasmani
juga rohani, terbentuk “ma bida ayana
bida” artinya (bhs Mee: tubuh
sehat rohani juga sehat). Tubuh pada saat tertentu membelokkan dari upaya
mengejar pengetahuan dan visi tentang kebenaran. Sebab manusia harus memenuhi
kebutuhan tubuh sambil menggapai kebenaran visi dengan kata plato, “tubuh
mengandung kejahatan ganda, yakni madium yang mensdistorsikan dan sumber nafsu,”
(Bertend Ressel: 2017, 186). Untuk mengurangi, memerangi penderitaan tubuh,
bagi orang Mee, “owaada” adalah dasar, sehingga jiwa, roh menjadi tenang dan damai. “Owaada” menjaga keharmonisan,
keseimbangan antara segala makluk baik dengan yang adikodrati juga kodrati,
baik yang hewani juga nabati. “Owaada”
mengajarkan budaya, juga agama, filosofis ekologis. Karena itu, dalam “owaada” melakukan penebusan-penebusan,
pertobatan atas kesalahan yang dilakukan terhadap makluk lain, baik terhadap
kodrati juga adi kodrati bersama Thilerd sang Teolog demi terciptanya
perdamaian dan keharmonisan timbal-balik.
Daftar Pustaka
Bakker,
Anton, Antropologi Metafisika, Kanisius, Yogyakarta, 1995
Evelyn,
Marry & A., John Grim, Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup, Kanisius,
Yogyakarta, 2017 Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogyakarta,
2008
Ohitimur,
Johanis, Metafisika Sebagai Hermeneutika: Cara memahami Filsafat Spekulatif
Thomas Aquinas dan Alfred North Whitehead, Obor: Jakarta, 2006, 47-102).
O’Denell,
Kalvin, Postmodernisme, Kanisius, Yogyakarta,
2017
Russell,
Bertend, Sejarah Filsafat Barat: kaitanya dengan kondisi sosial-politik zaman kuno hingga sekarang, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2017
Ryanto,
Armada, Menjadi Mencintai: Berfilsafat Teologis Sehari-hari, Kanisius,
Yogyakarta, 2017
Sumber Lain
Hasil
Musyawara Pastoral Mee, Kauskupan Timika: Owaada,
Dekenat Paniai, Diyai, 2004
Komentar
Posting Komentar