UPACARA REKONSILIASI DI PAROKI SALIB SUCI MADI
REKONSILIASI SEHAT DAN SUKA CITA
Mee epaida maki epaida: Mee enato maki enato: Mee Yoni maki Yoni
(Ugatamee Enato)
(P. Yulianus B. Mote Pr)
Pengantar
Menguduskan diri, sesama, EPA, TUMA, MAKI, Bangsa dan leluhur. Kita menguduskan diri, menguduskan tanah, alam dan penunggu untuk KESELAMATAN.
Materi
Untuk kelompok sesuai epa, untuk melihat dan menyesali kembali, dikembalikan kepada setiap marga. Siapa yang salah, oleh siapa, kapan, darimana, kesalahan apa, semua dikembalikan kepada setiap marga. Saatnya untuk sekarang kita mulai menyesali dan mengakui kesalahan-kesalahan itu. Saat ini kita berdiskusi secara umum. Contoh, untuk mote, giyaikoto, bidau, dll.
Untuk membagi tanah juga kadang tidak bersama. Dimiliki karena awal pengambilan. Karena itu, rekonsiliasi “Sehat dan Suka Cita,” berbicara tentang kamnu bukan sembarang, namun kita memahami kammu sebagai sebuah doa. Kalau dulu pernah bersalah kita harus buat rekonsiliasi sebagai penebusan dan perdamaian. Wotogai kammu yang dimaksud adalah dalam arti doa rekonsiliasi.
Witogai dimaksudkan untuk menyelamatkan, mengenyangkan; jika kita sudah “MOBU” kita sudah MERDEKA, Umitou mobu, keitai mobu, ekowai mobu.
Pertanyaanya, kenapa kita lemah-lamah, kenapa kita ada yang masih lapar dan menangis? Dahulu Allah telah menciptakan segala-galanya. Tanah pertama yang dimaksud adalah “TAMAN FIRDAUS” tempat suka cita, “AYOTO MAKIDA, IDEIDE MAKIDA.” Di tanah Firdaus itu, Allah menciptakan Adam dan Hawa. Di sana, diawal itu antara manusia pertama dan Allah satu kehendak dan satu pikiran, satu misi bersama. Di sana hidup berkelimpahan, tiada lagi duka cita dan penderitaan.
Walaupun demikian, karena menggunakan kehendak bebas, sebebas-bebasnya, akhirnya manusia itu diperdaya setan dan jatuh dalam dosa. Iblis, setan tersebut masuk dalam hati dan pikiran mereka, lalu lupa kehendak Allah yang ada di dalam diri mereka. Karena jatuh, hubungan tersebut rusak, Allah mengusir manusia pertama itu keluar dari sana. Sebenarnya, di sana kehidupan selalu aman, damai dan bahagia, namun mereka masuk dalam hidup perjuangan, hidup menderita dan sakit dan penyakit menjadi teman hidup yang senantiasa menyertai mereka. Jadi, tentang sakit, derita dan kejahatan ditarik oleh manusia, manusia sendiri yang mendatangkan penderitaan itu.
Kerena itu, kita pun mendapat imbas, kita pun berpartisipasi dalam kejatuhan dosa manusia tersebut. Dosa tersebut dilanjutkan oleh Kain dan Habel, Kain membunuh Habel. Karena ada pintu kejahatan, karena ada pintu kematian, maka darah dari mereka masih mengejar hingga kepada kita.
Tentang Kain dan Habel, dalam persembahan, Allah hanya menerima persembahan dari Habel, sebab dia selalu melakukan yang baik, selalu mengikuti perintah Allah. Sedangkan persembahan dari Kain tidak diterima oleh Allah. Maka, Kain “iri,” bahkan “membunuh” Hebel, adiknya.
Mengapa Allah tidak menerima persembahan dari Kain, sebab ia tidak mengikuti kehendak Tuhan. Dan dosa itu menjadi penghalang yang tidak memungkinkan persembahan tiba di Allah.
Karena melanggar, Allah menyusir kedua orang itu ke tempat yang gelap, hidup mereka menjadi kacau, rusak. Akibatnya, hidup makin menderita. Untuk itu, kita harus bekerja keras demi kebaikan. Untuk mendatangkan yang membahagiakan dan memerdekakan harus berjuang. “Ipa Kouko Imoto Togo,” Allah senantiasa mengharapkan, menginginkan kepada kita untuk senantiasa bertobat. Allah senantiasa menginginkan “pertobatan”, Allah itu juga senantiasa “mengasihi” kita, dari dulu, sekarang, sampai selama-lamanya.
Sekarang kita susah, karena kita sendiri telah melanggar Allah. Dosa yang pertama melahirkan dosa yang kedua “Kecenderungan, konkupisensi.”
Apakah Allah akan membebaskan/menyelamatkan kita atau kita tetap akan tinggal dalam situasi demikian? Peu kipako peuto togo, ena kipako enato togo. Bagaimana kita bertobat? Karena itu, supaya kita selalu dalam yang “ena, yoni, ayii,” kita sedang buat “rekon atau perdamaian.” Jika kita melakukan “rekon” di setiap marga dan kampung, sebagaimana yang kita sedang lakukan sekarang ini, Tuhan akan menyelamatkan kita.
Walau pun kita dalam perbuatan dosa dan ada dalam situasi dosa, namun Tuhan telah memberikan “kasih.” Tuhan masih menuntun dan menjaga kita dari dulu hingga sekarang ini. Kita buat rekonsiliasi ini, sebagaimana yang biasa dilakukan pendahulu kita, ialah melakukan kammu, jika terjadi sesuatu yang memenderitakan.
Jika kita hidup sebagimana yang diajarkan oleh Allah, kita akan sampai kepada keselamatan. Sabda Allah “Ayii Mana” sudah ada dan bersama kita. Namun “Ayii Mana” telah hilang tenggelam dalam “arus dosa” yang menghayutkan kepada kematian dan maut.
Yang melakukan dosa adalah mereka yang tidak taat pada Sabda Allah. Karena kita tidak melakukan sabda Allah, maka kita hidup bersusah payah, kita hidup dalam kekacauan dan berkepanjangan. Kita terus ada dalam penderitaan karena kita belum menebus, kita belum membayar kesalahan kita.
Apa yang menjadi milik kita, Allah hendak menunjukkan kepada kita sendiri, namum semua pintu-pintu keselamatan itu tertutup. Kita “witogai” untuk membuka pintu-pintu keselamatan yang sudah tertutup karena perbuatan kita yang jahat dan tidak mendukung.
Karena dengan Allah dan leluhur, lingkungan hubungannya tidak harmoni, sekarang ini kita buat rekonsiliasi. Yesus adalah Anak tunggal Allah, yang dikasihi-Nya secara sungguh-sungguh. Kita pun demikian, kita juga dikasihi Allah secara sungguh-sungguh. “Mari kita terlebih dahulu sadar, perbaiki dan menjadi suci dan selamat, supaya kita menjadi penyelamat, pembebas, yang membawa suka cita untuk sesama, bangsa, tanah, alam, leluhur, sebab Tuhan senantiasa menyertai kita.”
Kita telah menerima Injil “kabar gembira”. Kita sedang mati, hanya demi “Maki.” Kita sedang mati, apa lagi melalui kesalahan kita sendiri pun kita sedang mati. Apakah kita tidak bisa melakukan perbaikan, penebusan untuk kesalahan kita sendiri, untuk melawan arus dari luar?
“Tiada penggembalaan/pewartaan yang lebih indah, selain dengan “melakukan rekonsiliasi.” Dengan melihat realitas dunia yang tidak mau sadar dan selalu mau tinggal dalam kedosaan yang berkepanjangan, maka Yesus meminta untuk melakukan “rekonsiliasi” penebusan atas dosa-dosa menuju “kebebasan sejati.”
Tadi kita sudah cerita, bahwa kenapa manusia ini lemah-lemah, menderita; bahwa semua itu terjadi karena ada penghalang ada penghambat untuk melihat dan menggunakan apa yang diperuntukan bagi kita. Setiap epa, tuma diperuntukan keselamatan, sudah ditakdirkan untuk selamat. Sebenarnya kita memiliki, namun kenapa kesematan itu tidak terjadi? Bagaimana mengembalikan keselamatan ini?
Semua ini terjadi karena kita tidak memiliki tempat yang layak, di rumah-rumah; hidup selalu hidup di atas masalah dan perkara. Kita masih ada pintu kesalahan, masih saja perkara-perkara, semakin perpara kehidupan.
Kita, orang Mee ini beruntung karena memiliki “dukun,” sebagai utusan Allah. Saya mengira penderitaan ini semakin parah. Saya melihat dan sungguh merasakan bahwa kita sedang punah, kita sedang habis. Doa-doa kita tidak terkabul karena kita masih memiliki “wate-wate” yang menghalangi doa-doa kita.
Yesus menyembuhkan berbagai sakit dan penyakit, membangkitkan orang mati. Ketika Yesus menyembuhkan orang sakit, Yesus kadang memberitahukan bahwa sakit dan penyekit tersebut ada karena dosa pribadi, dosa orang tua juga leluhur. Allah menyembuhkan orang dengan mengatakan “mengampuni dosa.”
Jika kita tidak mengimani Gereja, kita tidak memiliki iman. Kita doa sekarang ini untuk “menguatkan iman.” Kita doa ini untuk meminta “Ugatamee” melihat kita.
Kesalahan dulu terhadap “manita, kego, tuba,” telah mematikan kita. Sekarang, orang meninggal dengan berbagai macam penyebab; karena jabatan, mati karena makan uang darah “ipuwe”, yang menjual tanah “ipuwe” akan membunuh sendiri. wate-wate lain adalah “racun,” racun itu bukan budaya kita, namun belajar dari orang lain. Yang lain, berbagai penyakit bertambah. Yang lain, karena kita tinggalkan, lupakan “tota mana”, akhirnya menjadi lemah dan mati. Yang lain, “maki mana”, yang lain ”miras/narkoba.” Yang lain, karena mengutamakan “uang dan barang,” menjadikan “uang dan barang” melebihi Allah dan manusia, walau pun sebenarnya “mege” dan barang untuk melayani manusia. Yang lain, karena mengganggun manitas/ipuwe.” “Yang lain karena “kego” Yang lain “iri hati” antar saudara, terjadi perang antar saudara. Yang lain, masalah gangguan: yumiyo wagita, madou wagita, ipuwe wagita. Yang lain, kutukan karena “penumpahan darah.” Yang lain, Kita masih memegang “benda-benda jahat.” Yang lain, “togel judi.” Yang lain, “mogai.” Yang lain, “politik” menimbulkan penipuan. Masih ada banyak lagi, karena itu harus cari sendiri.
Sebab, sekalipun kita mendengarkan “Sabda Allah, Kabar Gembira”, namun jika masih ada kelekatan-kelekatan, dan hambatan, semua sia-sia. Mari kita ikatkan “ayi mana, mabu mana dan tota mana.” enaouguwo, ena bodo, kampung ena awi, mee yaki, makii yaki Gereja yaki.” Dengan demikian, “Mujizat, tegaiya agiyo, iniya ubate agiyo kou ewaida Niyawipagi.” Dimi mobu, keitai mobu, dimi awe kegepa awe, ayou daiga, ideidedaigato keinitai.
Setelah kita menyucikan semua, kita saling percaya dan saling mendukung, kita saling menghargai dan saling membebaskan. Untuk yang sudah sekolah “harus rendah hati” dan “hidup bersatu dengan budaya” dan menjadi “orang budaya dan makann makanan budaya.”
Ingat bahwa “ipuwe” akan menolong kita, jika kita membangun hubungan yang baik dengan ipuwe. Walau pun ipuwe adalah milik kita, ia tetap tidak akan menjadi milik kita,jika kita tidak menyenangkan atau membangun hubungan yang tidak baik dengannya.
Sekarang ayo umi tou, yimu beuka iya, ageida kidoke, owage kidoke, koya kidoke, yonidoke. Witogai yang kita mau buat adalah “pribadi, keluarga, sesama, marga, kampung dan bangsa.” Semoga Tuhan mendamaikan dan membebaskan kita. “Berkat Allah yang menumpahkan darah dan air dari kayu salib, allah menyucikan kita semua.” Kita witogai bukan dengan babi atau dengan uang, melainkan dengan “Darah Anak Domba.”
Bagaimana selanjutnya membuat rekonsiliasi? Pertama, semarga atau seklen kumpul dan berbicara (proses persiapan), di sana diskusikan kesalahan-kesalahan, kesalahan mulai dari pigoka sampai saya sendiri. Kediua, siapa yang salah, siapa pernah salah apa? Ketiga, kapan atau dari mana kesalahan dibuat? “Ito kouko eyagitaida make keitai note.”
Rekonsiliasi dibuat dengan persiapan-persiapan yang matang. Jika sudah persiapan matang dan lama, minta Allah memberikan absolusi. Terakhir kita hendak masuk dalam “suasana ayi-ayi.” Selanjutnya mulai menyatukan cara melakukan rekonsiliasi, berkaitan dengan “tata liturgi” yang ada, inkulturasi.
Penutup
Singkatnya, Mari kita memohon Allah mengampuni dosa, kesalahan kita dan meminta Allah sendiri “membebaskan,” “memerdekakan” atau “menyelamatkan” kita.
Komentar
Posting Komentar