TEMU ANAK-ANAK SEKAMI, MEI 2017: BELAJAR MENATA RUMAH TUHAN
MENATA RUMAH TUHAN:
Belajar Membuat Komitmen Pribadi
“Tulisan ini materi yang dibawakan saat kegiatan anak-anak SEKAMI sedekenat Paniai di Paroki Segela Orang Kudus Diyai. Dengan Tema: Menata Rumah Tuhan. Akiki, akiko, mee yame, mee yagamo kipeko meeka dimi gaiya-gaiya, meeka umiya-umiya, meeka toya-toya, meeka uwi-yawii tiyake, maki yaki, mee yaki, maki yoni, mee yonitai.”
Goo, Egedy
Pengantar
Manusia tidak selamanya dapat hidup dalam kegelapan, kejahatan, penderitaan, kesusahan dan ketertindasan. Untuk mendapatkan rahmat kebaikan, keselamatan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam hidup, ia pasti mengubah diri untuk hidup lebih teratur dan tertata rapi. Ia menyadari secara sungguh akan ketertindasan dan berjuang untuk membebaskan diri dari ketertindasannya itu.
Tubuh yang adalah Rumah Tuhan harus di tata. Bagaimana ditata? Bagaimana cara menjaga tubuh dan jiwa tetap sehat? Mengapa harus ditata? Apa yang menjadi dasar untuk ditata? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi pertanyaan pendukung dalam merefleksikan dan menjadikan tubuh menjadi Rumah Tuhan. menjadikan Tubuh menjadi Rumah Tuhan tidak lain adalah tetap mempertahankan kesucian atau kekudusan bagi tubuh kita masing-masing.
Menata Rumah Tuhan: Berguru pada binatang
Untuk mempertahankan kehidupan dan demi kehidupan itu, setiap insan dengan berbagai cara diperjuangkan, sehingga tidak mengalami kesesatan, bahkan memutuskan kematian-kematian terpaksa yang datang dari musuh.
Binatang yang tak berakal budi pun selalu punya cara, atau jalan untuk mencari kehidupan yang mengenyangkan, mendamaikan dan menyesejahterakan. Dikala kehidupan menjadi genting, atau menakutkan, secara otomatis jalan pertama yang diperjuangkan adalah bagaimana supaya ia terbebaskan dari situasi tersebut. Misalnya, jika binatang tersebut merasa haus pasti ia akan mencari air untuk minum: apabila ia merasa lapar pasti ia akan mencari makanan untuk dimakan: jika tempat di mana ia hidup basah, pasti dia akan mencari tempat kering atau membuat sarang, atau liang untuk bertedu untuk dapat bertahan hidup.
Ungkapan, “sebodoh-bodohnya seekor kuda, ia tidak akan pernah jatuh dalam lubang yang sama.” Hal ini mau memberitahukan bahwa binatang saja dapat berubah dengan instingnya. Binatang tidak pernah mengalami nasib sial yang kedua kali. Binatang selalu berusaha untuk tetap hidup, bahkan terhadap mangsa, ia dengan caranya bersembunyi, menghilang supaya jangan dimangsa.
Menata Rumah Tuhan: Berawal dari pengenalan diri
Siapakah saya? Menjadi pertanyaan mendasar untuk menemukan diri saya sebagai Rumah Tuhan, baik dari segi tubuh maupun dari segi rohani. Secara jasmani kita temukan, seperti siapa bentuk atau ciri tubuh anda? Apakah ada kesamaan dengan bapamu, atau dengan ibumu? Apakah anda memiliki kekurangan tubuh pada anda? Apakah bentuk tubuh itu mempengaruhi kehidupan anda? Bagaimana melampaui kekurangan itu? Selanjutnya, apakah tubuhmu sempurna? Apakah saya bangga dengan tubuh yang sempurna? Bagaimana engkau mengungkapkan kebanggaan itu dalam kehidupan? Sebaliknya, dari segi rohani; siapakah saya? Apakah saya menyadari bahwa tubuhku adalah Rumah Tuhan? apakah Tuhan ada bersama saya, di dalam diri saya? Untuk membantu saya bertumbuh dan berkembang sebagai manusia rohani, apa yang menjadi paling mendasar; Ugatamee, Okaiya nitopita manaido, Ayimana Kapogaiye, Emawa, Owada, tentang ini akan disampaikan di satu bagian tersediri.
Berkaitan dengan siapakah saya secara jasmani, kita memahaminya dalam hubungan horizontal, yakni bagaimana saya berhubungan dengan alam (dunia), terutama dengan sesama manusia. Dalam hal ini, kita harus mengerti siapa diriku, bagi sesama, sambil mengenal mereka secara lebih dalam. Alam yang kita mau kenal pada kesempatan ini adalah tempat di mana kita hidup dan berasal dan sesama yang kita hendak kenal lebih mendalam adalah keluarga kita, bapak, mama dan saudara-saudari kita.
Untuk mengenal diri, siapakah saya, saya harus memaknai sebagai suatu tanda/symbol penyertaan Tuhan yang penuh makna. Bahwa “nama” atau “kata” mempunyai kekuatan dalam membentuk dan mengubah diri saya sebagai pribadi, yang bermakna untuk hidup, bagi sesama, juga bagi Tuhan. Jika “nama” direfleksikan lebih mendalam, “nama” itu menjadi Roh yang membakar setiap pribadi untuk bersemangat menjalani hidup, bahkan hidup semakin menjadi berguna, bernilai dan berarti. Nama yang diberikan, selalu mendorong kita untukk mencapai kesempurnaan dan sekaligus menarik setiap diri menghayati “nama” itu untuk makin menyerupai “nama” orang-orang sukses, khususnya para orang kudus.
Satu tradisi orang Mee yang paling unik adalah bagaimana manusia Mee memberikan nama khas/adat kepada anak yang baru dilahirkan secara budaya. Orang Mee sungguh meyakini bahwa “nama” yang diberikan amat mewarnai kehidupan, bahkan “nama” yang diberikan amat mempengaruhi kehidupan. Pemberian “nama” khas budaya Mee ini dihidupi hingga kini sejak leluhur. Komitmennya: pemberian “nama adat” harus dipertahankan hingga kini, sambil menggali makna dibalik setiap “nama” yang diberikan, semoga dapat dilanjutkan lagi generasi orang Mee selanjutnya.
Pertama, Dunia, alam tempat tinggal kita. Tempat yang paling cocok untuk kita dirikan Rumah Tuhan adalah tempat di mana kita berasal dan tinggal. Tempat di mana kita dilahirkan atau berasal adalah “Tanah Tumpah Darah”, negeri yang diberikan Tuhan untuk kita tata, sebagai tempat yang layak untuk Tuhan hadir dan bertahta. Tempat asal kita adalah Meuwodide, dari Kegata sampai Makataka secara umum dan Makataka sampai Wagomani secara khusus dalam wilayah pelayanan Dekenat Paniai.
Tempat asal harus “dicintai”, bahkan sampai titik darah terakhir. Jika saya tidak mencintai tanah asal saya, siapakah yang akan mencintai? Jika saya menjual tanah, saya akan mendirikan rumah di mana? Kita harus sadari dan berkata, “hanya dengan tanahku aku akan mendirikan Rumah Tuhan.” Aku cinta akan tanah asalku, dari sagala-galanya, karena hanya dari tanah asal ini saya bertemu dengan Tuhan. Komitmenku adalah saya tetap akan mencintai tanahku, saya tetap akan merawat tanahku sampai titik darah terakhir dengan belajar sungguh-sungguh, dengan bekerja, dengan berdoa dan menghadirkan Tuhan di dalam tanahku sendiri. Tanahku adaku, tanahku asalku, tanahku hidupku.
Kedua, Keluargaku tetap kusayang. Satu komitmen yang tetap dan tidak akan pernah hilang dari benakku adalah walau bagimana pun, apa pun kondisi aku tidak akan dipisahkan dari keluargaku. Aku sungguh mencintai keluargaku, aku mencintai bapakku, aku mencintai mamaku dan aku juga mencintai saudara-saudariku dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Aku mengenal keluargaku, aku mengenal rumah kami, kebun kami, penghasilan kami. Penderitaan keluarga adalah penderitaan aku, keberhasilan keluarga adalah keberhasilanku juga. Aku sungguh mencintai bapak dan mamaku dengan belajar giat, dengan membantu mereka, dengan mendengarkan nasehat mereka. Aku tetap mendoakan keluarga supaya dapat meneladan keluarga Kudus Nazaret. Dari keluarga aku bertumbuh, dari keluarga aku belajar, dari keluarga aku mengetahui dasar iman. Aku bangga keluargaku, lebih dari emas dan perak. Aku mau mengubah keluargaku menjadi lebih bebas-merdeka, lebih bahagia dan sejahtera. Tuhan tinggal beserta kami. Aku mau supaya rumah tangga kami menjadi Rumah Tuhan sendiri.
Ketiga, Bersama masyarakat di sekitarku, aku bertumbuh dan berkembang. Tentang siapakah aku, dapat terjawab dalam kehadiran saya di hadapan sesama yang lain. Saya akan menjadi diri saya, jika sesama yang lain hadir bersama saya. Mereka adalah saudaraku dan sesama yang harus diperhatian. Siapakah saudaraku? Mereka adalah keluargaku, sesama manusia yang lain, mereka yang membutuhkan penyembuhan, makanan dan minuman, keselamatan dan kemerdekaan. Untuk mereka saya hadir dan mereka harus dibebaskan dari belenggu. Namun, untuk mengeluarkan mereka dari keterpurukan, penderitaan dan keterjajahan, saya harus memiliki apa yang menjadi “obat penawarnya”. Obatnya adalah memiliki kekuatan. Kekuatan kita adalah ugatamee, pendidikan, emawa dan owaada.
Menata Rumah Tuhan: Mesti Mengetahui Pondasinya
Kita mengetahui bahwa untuk menata, membangun Rumah Tuhan harus sekehendak Tuhan sendiri. Artinya, yang paling mendasar untuk membangun Rumah Tuhan adalah Tuhan sendiri sebagai Pemiliknya. Rumah Tuhan itu harus kudus, karena Allah adalah Yang Kudus. Selain Tuhan sendiri, apa yang diajarkan-Nya. Ajaran Tuhan “ayii mana atau ayii tai mana”, Sabda Allah memiliki kekuatan untuk mendirikan Rumah Allah. Sabda Allah merupakan suatu “Kebijaksanaan Allah” untuk membimbing manusia kembali kepada-Nya. Maka selain, kekudusan, kebijaksanaan pun amat penting dalam menata, atau mendirikan Rumah Tuhan. Pendidikan/pengetahuan pun amat berpengaruh. Jika pondasi pengetahuan minim, cara untuk menata Rumah Tuhan pun akan kaku. Karena sekalipun mempunyai iman yang kuat, namun jika iman itu tidak dijernihkan oleh pengetahuan akan menjadi batu sandungan, kesesatan. Maka itu, saya harus memiliki pengetahuan yang memadai, bahkan “pengetahuan yang tepat tentang kehidupan” dan “bagaimana mendirikan Rumah Tuhan”. selain itu, emawa dan owada juga penting untuk dihayati. Dari dalam emawa dan owadaa, Rumah Tuhan menjadi makin Indah, sehingga Allah berkenan mendatanginya.
Rumah Tuhan Tertata: telah tercapainya puncak integitas diri
Bukti bahwa Rumah Tuhan telah dibangun adalah kehidupan menjadi aman, damai dan bebas. Orang yang terbebas dari belenggu kejahatan, penderitaan adalah orang yang mencapai puncak integritas diri. Menurut orang India, mencapai puncak kebebasan adalah masuk dalam Nirvana (kebebasan tertinggi, surga). Untuk mencapai Nirvana harus ditempu melalui delapan jalan kebenaran, dengan istilah Maggo. Inti dari jalan yang diajarkan adalah melakukan segala sesuatu dengan benar dan penuh kesadaran. Sementara, kebenaran menjadi misteri bagi orang Kristiani, bahkan Yesus sendiri tidak mampu menjawab arti kebenaran di hadapan Pilatus (bdk,Yoh 18:38). Walaupun Yesus sendiri adalah kebenaran itu sendiri, “Akulah jalan, kebenaran dan kehidupan” (lih, Yoh 14:16). Ia bersaksi tentang kebenaran (Yoh 5:33). Kebenaran itu akan memerdekakan kamu (Yoh 8:40) dan siapa yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya (Kis 13:10). Bahwa kebenaran untuk orang Kristiani adalah terwujudnya manusia bertemu Tuhan secara wajah dengan wajah.
Terjadi pertemuan antara wajah dan wajah bersama Allah merupakan puncak integritas diri sebagai orang Kristiani. Mendapatkan rahmat pertemuan agung ini, harus diperjuangkan dari sini, dari tempat ini, sekarang ini dengan menjaga kekudusan tubuh kita sebagai Rumah Tuhan. Jika kita menjadikan tubuh kita sebagai Rumah Tuhan, Tuhan berkanan masuk, dan akhirnya kita menjadi anak-Nya, karena Ia berkenan menjadi Bapa dengan tinggal beserta kita.
Rumah Tuhan adalah diri saya sendiri
Kita yakin bahwa saya (setiap pribadi) adalah Rumah Tuhan sendiri. Karena kita diciptakan oleh Allah untuk hadir dan tinggal bersama kita, di mana dan kapan pun. Bahwa Ia tetap akan hadir di mana dan kapan pun. Dengan Tuhan menjadikan tubuh saya menjadi rumah-Nya, maka secara otomatis tubuhku adalah Rumah Tuhan sendiri. Konsekuensi bahwa tubuhku adalah Rumah Tuhan, maka hidup harus sesuai kehendak Tuhan. Artinya segala sesuatu yang kita laksanakan adalah apa yang hendak Tuhan laksanakan, yang kita katakan adalah apa yang hendak Tuhan katakan, yang kita pikirkan adalah apa yang Tuhan pikirkan.
Penutup
Dengan realitas yang ada, kita harus maju. Kita tidak bisa menyerah dengan situasi-situasi yang mematikan, memenderitakan dan menyengsarakan. Bahkan, tidak ada manusia yang menghendaki untuk selalu tinggal dalam penderitaan yang menyengsarakan. Yang mau tinggal terus dalam kesengsaraan dan penderitaan, kebodohan dan kesusahan adalah orang-orang yang tidak punya Tuhan. Komitmen kita sekarang adalah menjadikan Tuhan menjadi Bapa kita. Bapa yang selalu tinggal bersama kita, menguatkan, membebaskan, menyelamatkan, mengeluarkan kita dari penderitaan dan kesusahan ini. Akhirnya pegangan kita satu-satunya dalam berbagai macam gejolak, pertentangan, pertikaian, peperangan, krisis dan permusuhan saat ini hanya Ugatamee, segala ajaran-Nya, pendidikan dan emawa-owaada. Selamat berubah, Deo Gratias.
Komentar
Posting Komentar