TUNTASKAN STATUS POLITIK PAPUA MELALUI DIALOG
MENUNTASKAN STATUS POLITIK PAPUA
MELALUI JALUR DIALOG
KEKEKERASAN di tanah Papua bermula sejak tahun 1969, setelah PEPERA diselenggarakan. Hasil PEPERA menurut orang Papua dinilai cacat hukum dan demokrasi, sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengatakan legal dan sah. Kontras ini makin memicu kekerasan demi kekerasan di tanah Papua.
Kasus-kasus kekerasan di tanah Papua, berpuncak pada “kasus penyanderaan 347 orang” di areal PT. Freeport, Tembagapura-Papua (Banti dan Kimbi) oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Orang Papua sendiri menolak adanya KKB. Mereka bukan KKB melainkan kelompok Organisasi Papua Merdeka atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (OPM/TPNPB). OPM/TPNPB adalah kaki tangan dari ULMWP yang berjuang memisahkan diri dari NKRI. Kasus penyanderaan ini menewaskan beberapa orang, salah satu diantaranya Brigadir Firman (15/11/2017) dan dua orang OPM/TPNPB (15/11/2017).
Atas stigma adanya KKB dan “penyanderaan,” di Tembagapura, di beberapa tempat melakukan aksi protes, dengan meminta “PT. Freeport ditutup.” Misalnya, di Jayapura melakukan demo dalam bentuk long march ( 23/11/2017) ke kantor DPRP; di Timika pada tanggal yang sama ke DPRD Mimika. Orang Papua menilai kehadiran PT. Freeport membawa malapetaka bagi kehidupan orang asli Papua, khususnya suku Amungme dan Kamoro sebagai pemilik hak ulayath.
Dampak dari Kekerasan
Ketika berbicara tentang kekerasan, beberapa slogan ini sering dilontarkan: yakni, kekerasan tidak pernah menghasilkan kebaikan dan keuntungan, sebaliknya kekerasan selalu berdampak negatif dan pasif; Jalan kekerasan selalu mendatangkan kekerasan baru; Kekerasan dengan kekerasan hasil akhirnya adalah kejatuhan korban, entah korban nyawa entah harta kekayaan. Konteks kekerasan yang terjadi di Papua adalah kepentingan ideologi, yakni antara “NKRI harga mati” dan “Papua Merdeka harga mati.”
Hanya karena indeologi yang berbeda, tidak sedikit manusia dan kekayaan yang habis-punah. Dampak kekerasan masih terasa dan membekas di hati manusia-manusia yang ada di Papua. Tidak hanya Orang Asli Papua (OAP), namun juga orang Pendatang yang ada di Papua. Ketika terjadi kekerasan, yang panik pun tidak hanya orang Papua, melainkan juga orang non Papua yang ada di sana. Alasannya, ketika masyarakat asli Papua korban entah dengan senjata militer atau dari masyarakat sipil, masyarakat asli Papua akan melakukan aksi protes.
Dampak dari kekerasan di Papua adalah Papua sedang dalam ketakutan. Ketakutan tidak hanya karena perjuangan ideologi “Papua Merdeka”, melainkan juga perasaan dilematis dari pengalaman kekerasan yang dirasakan sebelumnya. Papua sementara mencari opsi bagimana harus menyelesaikan status politik atau ideologi yang diperjuangkan. Apakah harus diselesaikan melalui kekerasan atau melalui jalur damai. Jalur damai yang hendak ditempuh adalah dialog, sebagaimana didesak oleh Jaringan Damai Papua (JDP) yang dikordinir oleh Dr. Nelles Tebay. JDP memfasilitasi untuk ULMWP dan NKRI duduk bersama untuk mencari jalan keluar yang diwasiti oleh pihak ketiga yakni Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Penyebab dari Kekerasan
Alasan utama kekerasan yang terjadi di Papua selama ini sudah jelas di atas, yakni status politik yang masih dianggap cacat hukum dan tidak sah melalui Act of Choise (PEPERA) 1969. Rakyat Papua merasa ditipu dan dirugikan oleh Negara adikuasa, yakni Indonesia, Amerika dan Belanda. Sejak Papua diintegrasikan dalam NKRI secara paksa melalui PEPERA, rakyat Papua membentuk kubu perlawanan, membentuk sebuah ideologi, yakni Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Ideologi NKRI “harga mati” dan Papua Merdeka “harga mati” telah mematikan kehidupan. Di antara kedua ideologi yang harganya mati, telah mematikan kehidupan ribuan bahkan jutaan manusia. Berapa banyak manusia yang akan mati hanya karena perbedaan ideologi dan kepentingan tersebut, masih merupakan misteri namun pasti akan terjadi. Perbedaan ideologi menjadi medan subur terjadinya kekerasan-kekerasan, bahkan bertahun-tahun. Dalam kekerasan, anak kecil dan kaum perempuan selalu menjadi korban. Untuk menghentikan kekerasan ini, mesti dilakukan dialog, sebagaimana sedang diusung JDP.
Dialog Damai Jakarta-Papua: Bersama-sama Mencari Solusi
Untuk menghentikan kekerasan di tanah Papua, saya mendukung ide dari JDP yang dikordinir oleh DR. P. Nelles Tebay Pr, yakni “Dialog Damai Jakarta-Papua” yang diwasiti oleh PBB. Konsep dialog Jakarta Papua yang dimengerti oleh JDP adalah melakukan dialog antara Pemerintah Indonesia dengan Papua yang diwakili oleh ULMWP di depan PBB.
Sebenarnya JOKOWI berbakat dalam melakukan dialog. Karena ketika Jokowi menjabat sebagai Gubernur, beliau menyelesaikan masalah-masalah dengan jalan dialog, bukan dengan kekerasan. Beberapa tahun JOKOWI menjabat sebagai Presiden Indonesia, beliau menunjukkan bakat kepemimpinan sebagai pemipin yang bisa diajak berdialog. Ketika JOKOWI beberapa kali berkunjung ke Papua, dalam banyak kali beliau berbicara tentang dialog sebagai jalan terbaik untuk menciptakan Papua tanah damai. Rakyat Papua yang secara mayoritas memilih JOKOWI menjadi Presiden Indonesia sedang menantikan janji-janji untuk menciptakan Papua tanah damai, terlebih saat-saat rakyat Papua mengalami kekerasan dan ketidak-nyamanan. Satu hal yang wajib diketahui oleh JOKOWI adalah ketika kekerasan demi kekerasan terjadi di Papua, sejarah dunia akan mencatat kelabunya kepemimpinan JOKOWI sebagai Presiden Indonesia. Sebaliknya ketika Presiden JOKOWI mampu menyelesaikan kekerasan-kekerasan di Papua, bapak Presiden JOKOWI akan disanjung, bukan hanya oleh orang Indonesia, namun oleh masyarakat dunia, bukan hanya zaman ini namun juga zaman yang akan datang.
Dialog Jakarta-Papua ini penting untuk mempersatukan, atau memperdamaikan ideologi-ideologi bertentangan. Dialog ini menjadi sarana untuk mencari jalan keluar dari masalah-masalah yang ada, sehingga tercipta perdamaian dan penghargaan terhadap manusia. Hanya dengan dialog kekerasan dapat diatasi dan dibatasi. Dalam situasi kekerasan, kedamaian dan persaudaraan sebagai manusia akan hilang, dan yang ada adalah musuh yang harus dimangsa.
Di Papua banyak terjadi kekerasan. Kekerasan yang terjadi di Papua makin memperkuat ideologi “Papua Merdeka” menjadi makin kencang. Orang Papua merasa tidak pantas tinggal dalam NKRI yang kejam. Kekerasan tersebut terjadi sejak tahun 1960-an dan masih berlanjut hingga hari ini, dan selanjutnya. Kekerasan di Papua ini juga mengundang perhatian yang serius dari dunia Internasional. Pendekatan militeristik (kekerasan) untuk meng-Indonesiakan Papua sudah tidak berhasil. Maka, perlu dilakukan dialog perdamaian. sebagaimana diusung oleh JDP.
Komentar
Posting Komentar