INTI KHOTBAH MGR. YOHANES PHILIP SAKLIL DI YAGAI DAN BIAMOMA

REFLEKSI KONTEKSTUAL ATAS PESAN-PESAN KHOTBAH USKUP JHON PHILIP SAKLIL TIMIKA
DI GEREJA STAGE YAGAI DAN BIAMOMA
(Desember 26 dan 27, 2016)
Goo, Egedy



               Gereja
Gereja bukan hanya sebatas sebuah gedung/bangunan belaka. Gereja pada hakekatnya adalah umat Allah, atau setiap pribadi manusia. Gereja adalah persekutuan umat Allah, tubuh mistik Kristus dan persekutuan umat terbuka. Gereja berciri satu, kudus, katolik dan apostolic selalu mengemban tiga tugas Kristus (Trea Munera Christy), yakni imam, raja dan nabi. Gereja selalu berziarah dalam sebuah persekutuan menuju penyatuan dengan Allah dalam Gereja Surgawi, sebagai puncak dan tujuan peziarahan umat Kristiani. Gereja Yagai dan Biamoma, baik sebagai sebuah bangunan dan terutama umat Allah, Quasi Paroki yang diterima merupakan suatu persekutuan yang sedang berziarah menuju Allah. Dengan demikian, dalam suasana Natal, melalui kelahiran Yesus dilahirkan pula dua stage menjadi Quasi Paroki dan melahirkan beberapa pemuda-pemudi menjadi dewasa dari kekanak-kanakan melalui sakramen Krisma.
Natal kita rayakan dengan banyak cara
Perayaan pengukuhan stage menjadi Quasi Paroki dan Penerimaan sakramen Krisma saat ini masih dalam suasana Natal. Masih dalam kegembiraan natal karena menerima Yesus Penyelamat di dalam hati kita, kita juga mengungkapkan kesediaan kita untuk memupuk iman kepercayaan kita dengan membentuk sebuah Quasi Paroki sebagai wadah Sabda Tuhan dikumandangkan  dan dibagikan.  Melalui penerimaan Sakramen Krisma dan pengesahan Quasi Paroki kita mengiyakan kehadiran Allah yang membebaskan dan menuntun setiap perjalanan hidup kita. Di mana melalui Quasi Paroki yang disahkan, Gereja stage tidak lagi menjadi pinggiran, melainkan menjadi pusat dari semua dan seluruh kehidupan kita, secara jasmani juga rohani.
Penyesahaan Quasi paroki menjadi pusat, bukan lagi pinggiran
Menjadi pusat pastoral dan spiritual, berarti kita menjadikannya sebagai Emawa. Untuk itu Emawa harus pastikan tungku api harus ada dan asap pun selalu kelihatan dari sana. Emawa adalah tempat di mana segala pelindung manusia dan tanaman juga hewan piaraan berdiam. Emawa dapat diartikan juga sebagai tempat mendapatkan spirit/jiwa dari setiap manusia, khususnya kaum pria, sebab Emawa selalu berkaitan dengan “yameipuwe/yame aya metida.” Gereja yang adalah Gereja berbeda dengan emawa asli, yakni emawa yang  bukan saja milik kaum pria, emawa yang hanya dimasuki oleh kaum pria, melainkan emawa yang juga terdapat pula pelindung kaum hawa dan kaum hawa pun dapat masuk di dalamnya, dapat berpartisipasi dengan segala daya dan kemampuan yang dianugrahkan.
Dengan menjadi quasi yang adalah pusat, umat beriman harus masuk dalam pusat dan inti kehidupan. Jangan hidup seperti binatang yang tidak mempunyai harkat dan martabat. Harus menemukan pusat dari kehidupan dan harus memeliharanya, bahkan menjadi besar dan buahnya harus dibagikan kepada mereka yang datang ke emawa, buahkan harus lezat untuk menarik semakin banyak orang yang menjadi manusia gereja.
Di Emawa api harus ada
Seorang filsuf pra-Sokerates (Perminedes) pernah mengatakan, tidak ada kehidupan tanpa panas/api, bahkan manusia ada karena ada panas. Panas yang terdapat dalam diri manusia adalah darah, denyutan nadi dan pemompaan darah dalam kestabilan dan keharmonisan. Darah selalu memberikan kehangatan pada tubuh manusia, apa lagi darah muda, pasti mempunyai semangat kerja yang tinggi karena darahnya masih panas dan memiliki kekuatan. Maka, di sini kita dapat mengartikan panas dapat memberikan kekuatan dan semangat untuk orang bergerak dan menggerakan, sehingga dapat terjadi perubahan dan perkembangan. Panas selalu memberikan pertumbuhan dan kehidupan, darah muda menunjukan terjadinya proses kehidupan dan pengembang-biakan.
Segi filosofis orang Mee, api tetap merupakan kebutuhan essensial yang tak dapat digantikan dengan apa pun. Kehidupan orang Mee masa silam api mempunyai multifungsi, misalnya menghangatkan badan (pengganti selimut), membuat kebun (yaba you), memasang rokok dan memasak makanan. Hanya dengan api, dapat memasak makanan dan juga badan menjadi hanyat. Bodiyama too gobi kidoke, bida kidoke.
Quasi Paroki merupakan dapur/emawa memasak sesuatu
Menjadi Quasi paroki adalah menjadi tempat memasak sesuatu supaya tidak lapar lagi dan tidak haus pula. Kalau masak nota, ekina dll, pasti kita akan lapar dan haus lagi, tetapi memasak makanan rohani pasti tidak akan ada kelaparan dan kehausan.
Supaya emawa/Quasi paroki dapat memasak dan menghidangkannya kepada sesama, maka emawa harus mempunyai bahan makanan yang dikelola dan dihidangkan bersama. Emawa tidak dapat menghidangkan sesuatu pun kepada sesama, jika emawa tidak memiliki makanan. Karena hukumnya, kita dapat berbagi kepada orang lain jika kita memilikinya. Untuk itu, emawa harus mengadakan atau memiliki sesuatu supaya apa yang dimiliki itu dapat menjadi santapan bersama yang menguatkan, mengenyangkan dan menghidupkan. Gereja harus bekerja, supaya dapat memperhatikan umat yang berkekurangan dan tidak mampu, untuk menghindari slogan, “jika kita ke Gereja, Gereja kasih makan kah? Gereja tidak kasih makan mo, lebih baik kita pergi mencari makan di tempat lain saja.” Gereja memang hadir untuk menghidangkan makanan rohani, namun jangan pernah alpa untuk memperhatikan kebutuhan jasmani dari umat setempat.
Dengan demikian, Gereja/emawa hadir untuk memikirkan, menggumuli dan melibatkan diri dalam memajukan kehidupan umat setempat dari semua sisi. Gereja harus mengemban tugas, imam, nabi dan raja. Gereja harus menangis bersama mereka yang menangis, bergembira bersama mereka yang bergembira; duka dan kecemasan, penderitaan dan ketertindasan umat menjadi duka dan kecemasan, penderitaan dan ketertindasan Gereja. Jangan hanya mendirikan emawa/Gereja selanjutnya masa bodoh dan cuek, Gereja harus hidup dan terus eksis hingga hari kedatangan Tuhan (Maranatha).
Setiap laki-laki harus mempunyai emawa
Berkaitan dengan emawa dari segi budaya, uskup menyarankan untuk setiap anak laki-laki harus mempunyai emawa/owa rumah untuk menghuninya. Owa, eda dan bugi selalu identik dengan seorang laki-laki, sebagai dasar melindungi diri, keluarga (istri-anak) supaya tidak mencari rumah dan makanan di tempat lain. Di masa silam, penjodohan terjadi antara laki-laki dan perempuan yang memiliki kemampuan dan kemauan untuk bekerja keras, yang memiliki rumah, kebun dan pagar sendiri. Berbeda dengan sekaran yang hanya mencari muka, soal ganteng dan cantik. Pewartaan uskup amat relevan dengan budaya orang Mee tentang manusia pekerja (keitai emo, ekowai emo bage).
Banyak orang bersaksi, sekalipun segala sesuatu tidak lengkap, yang penting rumah harus ada. Karena hanya dari rumah dan dalam rumah seorang manusia merasakan eksistensi dan kodrat kemanusiaan, jika tidak, kehidupannya tidak dapat dibedakan dengan binatang. Sebab hanya binatang yang dapat hidup di luar rumah dalam kehujanan dan kepanasan. Rumah menjadi tempat perlindungan kemanusiaan, terlindung dari panas, hujan, juga segala bencana dan marah bahaya. Jika rumah aman, segala yang lain pasti aman. Jika rumah tidak aman, pasti pikiran tidak tenang dan kehidupan tetap takaruan.
Gereja harus mempunyai kebun sendiri
Apa maksudnya Gereja harus mempunyai kebun sendiri? Gereja harus memiliki kebun sendiri maksudnya, supaya Gereja jangan menjadi batu sandungan untuk orang lain. Seperti St. Paulus, kami harus kerja (mendirikan tenda sendiri) supaya menjadi contoh bagi umat, supaya umat meneladaninya.
Gereja harus memiliki kebun sendiri supaya jangan selalu mengharapkan orang lain. Selain itu supaya Gereja dapat hadir sebagai penyelemat, penyembuh dan pembebas untuk yang lain. Gereja harus produktif, harus memberikan hasil yang melimpah untuk kehidupan, untuk merawat dan mempertahankan kehidupan,  sehingga kehidupan tersebut mendapatkan posisi yang layak sebagai manusia, sesuai anugrah awal. Gereja harus memproduksikan segala sesuatu, entah materi, entah bentuk, entah dana, entah bama. Gereja hadir untuk memberikan harapan dan semangat bagi kehidupan.
Jangan mati di tempat lain/orang tua
Kenyataan hidup manusia Mee, karena begitu melekatnya ikatan darah, kehidupan makin tumpang tindih. Dalam satu rumah dapat ditemukan 3 atau 4 keluarga, mulai dari keluarga bapak, keluarga anak pertama, keluarga anak kedua, dst. Kenyataan ini semakin memperburuk keadaan keluarga, bahkan dalam kondisi tertentu tumbuh benalu yang dapat menguras kehidupan antarsesama keluarga.
Ikatan atau hubungan darah ini membentuk suatu karakter ketergantungan dan belas kasihan yang tidak berbobot. Hanya karena keluarga saling membiarkan (tidak saling menasehati/menuntun), bahkan saling memperhatikan seperti telur yang mudah pecah. Tidak saling mengantar kepada kedewasaan, kemadirian dan ketangguhan menaklukan kemelaratan. Dari ikatan darah ini, pikiran primitif, pikiran sempit dan kerdil pun saling membagi seadil-adilnya, setiap anggota keluarga susah untuk keluar dari sarang kemelaratan. Sekalipun satu orang berpikir untuk maju dan berkembang, bertumbuh, hendak mandiri dan memiliki mimpi-mimpi ideal, keluarga lain datang mengganggu dan menjatuhkannya.
Suasana ini tidak pernah kita akan menjadi manusia. Filsuf Jhon Lokce memberikan suatu dorongan dengan istilah “Ubermanch atau Superman”  manusia super, harus berani untuk keluar dan jangan pernah takut kepada siapa pun, harus keluar dan berani bertarun dengan dunia yang memang menyusahkan. Filsuf ini menghimbau untuk tidak mengandalkan siapa pun, termasuk orang tua, apa lagi Tuhan. Menurutnya, karena Tuhan sudah memberikan kekuatan sesuai kadar permasalah untuk mengatasinya, maka gunakan kekuatan itu untuk menaklukannya.
Dengan demikian, setiap anak laki-laki harus mempunyai rumah, harus mempunyai kebun dan harus mempunyai pagar supaya keluarga (istri dan anak-anak) jangan menderita. Jangan mati di tempat lain/di rumah orang tua merupakan suatu nasehat bijak yang memungkinkan seorang anak laki-laki menunjukan kelelakiannya. Kelelakian terwujud dalam rumah yang didirikan untuk tempat naungan keluarga batty.  Anak laki-laki yang mati di rumah orang tua dapat dipahami sebagai bukan manusia dan bukan laki-laki.  Hal ini berkatitan dengan pesan-pesan bijak, atau falsafah orang Mee, “woyago boo badi-badi, atau uwa komo too komo.”
Jangan hanya jalan-jalan
Nasehat bijak ini juga amat kontekstual. Dengan berkembangnya alat modern dan uang di tengah umat, umat tidak mau bekerja dan lebih banyak berjalan-jalan. Lebih banyak ukur jalan dari pada menetap di kampung dan kerja. Akibat tidak bekerja dan jalan-jalan adalah hidup di atas barang-barang belian, bahkan makanan dan minuman pokok semuanya dibeli, walau pun tidak sekolah dan tidak pernah mendapat gaji.
Beredarnya uang Negara melalu BBM juga uang INTEL makin memperparah kehidupan orang Mee. Apa lagi ada beras raskin, semakin banyak orang yang tidak mau kerja dan hanya santai. Bantuan-bantuan yang datang semakin membentuk karakter orang Mee menjadi pemalas, menanti dan menunggu, hidup mulai berubah. Kehidupan dulu orang Mee lebih banyak kerja, kini orang Mee tidak mau bekerja, malah seluruh waktu dihabiskan dengan bermain-main.
Perempuan jangan mencari suami orang lain
Bapak Uskup menasehatkan kepada perempuan demikian karena dengan melakukan poligami, Gereja rusak dan keaktifan dalam gereja makin hilang. Dan pemberitahuan ini termasuk juga dalam aturan Gereja. Nasehat ini kembali kepada setiap perempuan, dengan pertimbangan-pertimbangannya. Mempertimbangkan implikasi dan konsekuensi yang ditanggungnya. Sebab memang mimilih jodoh, menentukan siapa yang akan menjadi jodoh hanya sedetik, namun harus dijalani selama sisa hidup, sebab sekali untuk selamanya dalam konteks perkawinan Katolik.
Perempuan jangan kawin dengan laki-laki yang tidak memiliki apa-apa
Bapak uskup menasehatkan ini karena realitas sekarang yang penuh dengan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga). Di mana karena laki-laki tidak mampu menghidupi keluarga, dan karena istrinya meminta makanan akhirnya suaminya memukul. Uskup menasehatkan demikian karena laki-laki yang tidak memiliki apa-apa, di antaranya rumah, kebun dan pagar tidak pernah memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan dalam keluarga, tidak hanya segi jasmani namun termasuk juga segi rohaninya.
Pada hakekatnya dan memang merupakan budaya Mee bahwa memilih jodoh harus yang mampu menafkahi dan memberikan kenyamanan dan kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam keluarga. Secara kodrati pasti tidak ada manusia yang menginginkan kehidupan yang tidak nyaman dan memenderitakan, dengan demikian tentu akan mencari seseorang yang dapat mengayomi, menjaga dan mengamankan keluarga. Dan itu semua bukan semata-mata kesejahteraan jasmani melainkan juga harus dipenuhi pula kesejahteraan rohani.
Krisma: Sakramen Pendewasaan
Menerimakan krisma merupakan pendewasaan/penguatan sebagai bekal hidup dari sikap kanak-kanak. Dengan menerimakan Sakramen Krisma, setiap anggota menerima Roh Kudus agar olehnya setiap orang dituntun dan diarahkan kepada apa yang Allah inginkan, kehendaki.
Dengan menerimakan Krisma, kehidupan selanjutnya bukan lagi hanya mengandalkan tubuh semata, melainkan harus mengandalkan segi kehidupan rohani, tidak hanya mengandalkn fisik semata melainkan membiarkan Roh Allah menuntun dan mendampinginya. Sehingga segala apa pun yang dilakukan bukan semata-mata usaha manusia belaka, namun akan menjadi suatu campur tangan Allah yang menyelamatkan dan Roh Allah akan mendampingi. (Deo Gratias).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

YESUS, ORANG MISKIN DAN PENDOSA

UPACARA REKONSILIASI DI PAROKI SALIB SUCI MADI

VERONIKA MENDAPAT GAMBAR WAJAH YESUS