TEOLOGI CINTA KASIH PASTORAL
TEOLOGI CINTA KASIH PASTORAL DI ERA MILENIAL
Oleh, Goo Egedy
Abstrak
Saya melihat Era Milenial berpengaruh terhadap Pelayanan Pastoral. Pengaruh negatif yang paling dominan adalah Era Milenial ini memberikan kebagiaan semu yang dianggap sebagai kebahagiaan kekal. Dampaknya, manusia milenial lebih menyukai hal-hal duniawi, atau barang-barang duniawi ketimbang hal-hal ilahi. Bahkan Allah dilupakan karena benda-benda duniawi. Saya menginginkan satu pembaruian, bahwa jiwa manusia dikembalikan kepada Allah sang Pencipta. Karena itu, saya menggunakan Teologi Kontekstual untuk membebaskan manusia modern dari keterikatan duniawi.
Key words: cinta kasih, pastoral, gembala, surga dan dunia milenial.
Pengantar
Dengan melihat realitas penjajahan terhadap nilai kehidupan manusia, terutama dalam konteks kerohanian dengan berkembangnya modernitas, arus globalisasi Gereja harus hadir untuk menebus, membaptis dunia dan mengembalikan dunia pada kehendak penciptaan. Allah menciptakan dunia untuk mencintai dan Allah terus mencari dan mengembalikan yang tersesat. Gereja wajib hadir sebagai Pembebas, Penyelamat dunia, dimulai di sini dan kini “hoc ad nunc.”
Cinta Kasih Allah Versus Cinta Kasih Pastoral
Cinta Kasih Pastoral tidak terlepas dari Cinta Kasih Allah. Bahkan Cinta Kasih Pastoral merupakan penyaluran Cinta Kasih Allah. Gereja merupakan sarana atau tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan. Tentang semangat Gereja sebelum Konsili Vatikan II “Extra ekklesiam nula Sallus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan) menjadi sejarah penting untuk menjelaskan Gereja sebagai saluran cinta kasih Allah yang menyelamatkan. Gereja selalu berjuang untuk memperlihatkan eksistensinya sebagai sarana keselamatan. Gereja hadir di tengah dunia, ikut merasakan kehidupan bersama dunia. Gereja ambil bagian dalam duka dan kecemasan, harapan dan tantangan, kerinduan, suka cita dan kegembiraan dunia.
Pertama, Cinta Kasih Allah;Pada dasarnya Allah adalah kasih. Allah adalah kasih mendapat refleksi mendalam dari para gembala. Khusus Paus Benediktus, Beliau mengeluarkan Allah adlah kasih sebagai Ensiklik pertama “Deus Caritas Est.” Ensiklik ini merefleksikan konsep tentang eros (cinta seksual), agape (kasih tanpa syarat), logos (firman atau Sabda), dihubungkan dengan ajaran-ajaran Yesus dengan dasar biblis (1Yoh 4,16). Kasih Allah dapat ditemukan dimana-mana, di dalam setiap tindakan penyelamatan yang dilakukan. Benih-benih kebaikan ditaburkan di segala tempat dan di sepanjang masa. Benih-benih kebaikan “Logos Spermatikos” merupakan cinta kasih Allah yang diwujudkan secara nyata dalam kehidupan, konsep Allah- di dalam-kita, “peneumatologis.” Kasih Allah secara spektakuler, utuh, penuh, total dan tak tergantikan terlaksana dalam diri Yesus. Pewahyuan Allah dalam dunia, Allah berinkarnasi dalam sejarah manusia merupakan perwujudan cinta Kasih Allah yang paling sempurna.
Kedua, Cinta Kasih Pastoral; Cinta kasih Pastoral merupakan perwujudan nyata dari cinta Allah. Gereja adalah alat atau sarana keselamatan. Jika cinta kasih tidak dilaksanakan dalam karya Pastoral, Gereja kelilangan orientasi. Kasih Allah harus ditampakkan dari Gereja dan oleh Gereja. Gereja mendengungkan bahwa kasih Allah menjangkau semua dan kepada setiap pribadi. Gereja memberikan harapan kepeda mereka yang putus asa, Gereja memberdayakan mereka yang lemah, Gereja membuka kedok-kedok kejahatan yang terbungkan dalam cinta eros, cinta semu yang mencari keuntungan dan kenikmatan diri. Gereja hadir dan menjadikan semua bangsa menjadi murid Yesus (Mat 28:19).
Kehadiran Gembala sebagai Penegak Kerajaan Allah
Antara gembala dan Kerajaan Allah tidak dapat dipisahkan. Pentahbisan menjadi gembala sekaligus menjadi penegak Kerajaan Allah. Seorang imam adalah seorang manusia, kepadanya Sabda Tuhan dipercayakan. Karena itu imam adalah pelayan Sabda Allah. “Presbyterium Ordinis” menandaskan bahwa “imam memiliki tugas utama mewartakan Injil Allah kepada semua orang.” Menjadi pewarta Sabda Allah yang kudus ini, seorang imam di harus didukung oleh kekudusan diri yang dijaga. Jika kekudusan diri tidak dijaga, perwataan Sabda Allah secara substansial tidak akan terlaksana. Hanya akan terlaksana sebagai formalitas semata. Seorang Gembala dipanggil dan diutus demi Kerajaan Allah.
“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan bagi orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebasakan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” (Luk 4:18-19)
Di hadapan ibunda, yakni Gereja, kesadaran sebagai manusia ciptaan Tuhan di dalam batin manusia hampir hilang. Dalam hati dan budi manusia penuh dengan rumusan-rumusan teknologis dan sains. Manusia millennial lebih suka kenikmatan dan keberuntungan hidup yang serba gampang dan cepat. Mereka lebih menyukai apa yang tampak, apa yang kelihatannya tertarik di depan mata. Supaya warta tentang Kerajaan Allah dapat masuk di dunia Millennial apa yang harus dilakukan?
Pewarta Kerajaan Allah Dipersiapkan secara Matang
Gembala mewartakan Kerajaan Allah tidak bisa hanya dengan kata-kata, baik khotbah, seminar, maupun dalam bentuk penyampaian apa pun. Kata-kata untuk zaman kini tidak relevan. Anak-anak zaman ini lebih menginginkan bukti dari pada sebatas kata-kata. Cara untuk membendung arus yang makin memojokkan Gereja dewasa ini, teori “counter-hegemonic” dari Antonio Gramci dalam melawan arus kekuasan amat penting. Gramci menyarankan mesti dibentuk sebuah sekolah yang dapat meningkatkan intelektualitas kelas tertindas. Tanpa pendidikan dan intelektualitas yang dibentuk tidak mungkin kaum lemah menciptakan suatu budaya “counter-hegemonic.”
Untuk mewartakan Kerajaan Allah secara lebih lantang, seorang gembala harus dipersiapkan. Gramci dengan diinspirasi oleh Paulo Freire dengan sebuah sistem pendidikannya, yakni “critical pedagogy.” Sistem pendidikan yang berintisarikan pembebasan kesadaran manusia melalui metode dialogika kritis, yakni metode yang memungkin setiap orang untuk mengeluarkan pikiran dan mempelajari setiap pengalaman nyata yang dialami. Dalam memperbarui dunia, gembala harus hadir dalam segala kesigapan, kesanggupan dan kemampuan. Entah apa pun situasi, gembala harus ada di garis depan dalam memerangi penyesatan dan pengaburan nilai Kerajaan Allah. Tentu dilawan dengan metode dan kemampuan yang memadai. Misi utama seorang gembala adalah menjadi saksi Kristus (Kis:1:8) dan menjadikan semua bangsa menjadi-Nya. (Mat 28:19-20). Kerajaan Allah berarti mendirikan suatu masyarakat kebenaran dan keselamatan. Menjunjung tinggi nilai kehidupan dan kekudusan. Mendirikan Kerajaan Allah mulai dari penyelamatan diri melalui pertobatan. Kerajaan Allah didirikan melalui ajaran etis, pembaruan sosial dan tindakan politik.
Gembala harus kontemplatif dalam mewartakan Kerajaan Allah
Wawasan tentang gradasi nilai wajib dimiliki seorang gembala umat. Sebab jika gradasi nilai tidak dimiliki akan tergilas dalam dunia beku yang menggiurkan. Sebagai gembala, kehidupan doa (kontemplatif) tidak bisa dihilangkan. Gembala wajib mempunyai saat-saat hening bersama Dia yang memanggil dan mengutus. Saat-saat doa mempunyai saat yang tepat untuk mengukuhkan panggilan dan perutusan.
Kontemplasi merupakan spritualitas seorang gembala yang tidak bisa diubah atau digantikan dengan sesuatu apa pun. Karena itu, seorang gembala tidak bisa hanya aktif di lapangan namun tidak memiliki semangat kontemplatif. Hidup kontemplatif memiliki nilai yang lebih mendalam daripada hidup aktif tanpa doa. Spritualitas hidup kontemplatif merupakan spiritualitas hidup yang dihayati para imam yang “secara istimewa menggambarkan Kristus yang berdoa di atas gunung.” Dalam spiritualitas kontemplatif ini para imam “menangggapi panggilan Allah dengan mengikrarkan nasehat-nasehat Injil, sehingga mereka tidak hanya mati bagi dosa (lih, Rm 6:11), melainkan dengan mengingkari dunia, semata-mata bagi Allah. Sebab seluruh hidup telah mereka baktikan untuk mengabdi kepada-Nya dan merupakan penyucian istimewa dan mengungkapkannya secara utuh dalam pentahbisan imamat.”
Gembala menunjukkan Kerajaan Allah melebihi segalanya
Gembala adalah mereka yang berada antara Allah dan manusia. Menjadi Pengantara antara manusia dan Allah sebagai mana tercantum dalam Institusi “Pastores Dabo Vobis” (Gembala-gembala akan Kuangkat bagimu). Menjadi gembala berarti mau mencintai domba-domba. “Gembala yang baik memberikan nyawa-Nya bagi domba-doma-Nya,” (Yoh 10:11). Gembala di Era Millennial memang berat. Karya Cinta Kasih Pastoral dibutuhkan kejelihan dan kepiawaian. Gembala harus mengetahui secara persis asal-usul juga arah dan tujuan dari perkembangan millennial. Selanjutnya, gembala membuat patokan-patokan. Gembala memberikan batasan-batasan dalam penggunaan media. Terutama berkaitan dengan perlaku-perilaku yang berlawanan dengan iman dan moral Gereja.
Allah menciptakan dunia untuk mencintai. Dengan cinta-Nya pula menyelamatkan ciptaan yang tersesat. Kehendak Allah untuk menyelamatkan dunia, diwahyukan dalam diri Yesus Anak-Nya terkasih. Yesus sebagai wahyu khusus dalam misi penyelamatan Allah. Misi ini wajib ditanggapi oleh manusia, terutama bagi yang mengikuti Yesus secara radikal, yakni kaum Klerus. Dalam karya keselamatan Allah ini, manusia modern harus menanggapi panggilannya. Dunia kini yang diprofanisasi dengan alat-alat teknologi yang canggih, harus diperjelas makna dan kegunaannya.
Gereja hadir di tengah dunia
Sebagaimana dalam pembahasan di atas, Gereja dan dunia tidak bisa dipisahkan. Gereja ada di dunia, sebaliknya dunia ada di dalam Gereja. Kehadiran di tengah dunia bukan sebagai budaya tandingan. Gereja tidak hadir untuk melawan dunia. Gereja hadir untuk menunjukkan eksistensi keberadaan dunia. Gereja hadir untuk mencerahkan, atau memperjelas dunia yang kacau dan dikaburkan oleh kepicikkan manusia. Misi kehadiran Gereja di dunia adalah untuk menyelamatkan dunia.
Gereja dan dunia milenial
Dalam terang konsili vatikan ke II Gereja dipahami sebagai pribadi manusia. Gereja adalah saya sendiri. Ketika Gereja dipahami sebagai pribadi, Gereja tidak dapat dipisahkan dari komunitas manusia. Manusia adalah Gereja. Hal ini berkaitan dengan paham teologi dari St. Paulus tentang Teologi Tubuh. Dalam Gereja itu, Kristus menjadi kepala dan umat manusia adalah anggotanya.
Kesatuan Gereja dan dunia sebagai sarana keselamatan menuntut pengakuan, bahwa keduanya merupakan kehendak Allah. Gereja dan dunia ada untuk keselamatan. Pengakuan eksistensi dari dunia, sekaligus eksistensi dari Gereja membutuhkan kerendahan hati. Sebagaimana melalui semangat konsili vatikan II dunia dipahami dan diterima sebagai ciptaan Allah, dan terdapat Roh Allah dalam segala sesuatu sebagai konsekuensi sebagai ciptaan. Karena itu, Gereja akan menjadi bermakna jika hadir di dunia, demikian juga dunia akan menemukan eksistensinya jika Gereja hadir dalam misinya untuk menebus dan menyelamatkan. Gereja ada dalam dunia dan ada untuk dunia. Gereja ada untuk menguduskan dunia.
Gereja untuk dunia millennial
Gereja ada untuk dunia secara universal. Zaman millennial merupakan satu kenyataan yang berpengaruh pada pertumbuhan Gereja universal. Karena Gereja ada untuk dunia, maka keberpihakan pun harus jelas. Idealnya, Gereja hadir dan berpihak di semua sektor. Namun, dalam situasi tertentu keberpihakan Gereja pada yang miskin dan tersisikan (Option for the poor) menjadi pilihan utama.
KEGEMBIRAAN DAN HARAPAN, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam pesiaraan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang (GS, Art. 1).
Gereja memembebaskan dunia
Gereja ada untuk membebaskan dunia. Gereja yang hadir untuk menindas adalah bukanlah Gereja. Jika “membebaskan” dihubungkan dengan Gereja seolah-olah terjadi kepincangan. Sebab kata “membebaskan” bermakna profan, sedangkan Gereja dipahami sebagai yang ilahi. Pemahaman yang selama ini dibangun dalam distingsi dunia adalah kotor, jahat dan Gereja adalah sakral telah menjatuhkan eksistensi kesakralan dari dunia.
Alat teknologi sebagai alat pembebas, sarana keselamatan ditemukan dalam Gereja yang diakarkan ajaran biblis, tentang penciptaan. Yakni, apa pun yang ada baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan semua ada karena diciptakan oleh Allah. Dalam kodrat ciptaan tertanam kehendak Pencipta. Kodrat itu wajib dikagumi sebagai rahmat, sumber, sarana atau alat bagi kelangsungan hidup manusia dan kemuliaan Allah.
Gereja menguduskan dunia
Misi utama kehadiran Gereja adalah menguduskan dunia. Pengudusan berhubungan dengan kegiatan keimaman. Tugas Gereja untuk menguduskan dunia merupakan partisipasi Gereja dalam Yesus Imam Agung. Keagungan Yesus terletak dalam persitiwa salib, penebusan yang dijalankan demi menguduskan dunia.
Tugas pengudusan dari Yesus hingga kini dirawat. Misi Kristus ini menjadi misi Gereja. Gereja berjuang untuk memperjuangkan manusia menjadi anak-anak Allah. Menjadi anak-anak Allah, tidak lain adalah manusia dikembalikan pada kekudusan asali (situasi awal ciptaan). Yesus telah menjalankan misi ini secara utuh. Karena itu, apa pun kegiatan yang dilakukan harus dihindarkan dari keserakahan dan ambisi duniawi semata. Gereja yakin bahwa apa pun yang diperankan adalah untuk kemerdekaan dan kedamaian, untuk melayani dan menyelamatkan.
Kehadiran Gereja yang menguduskan dunia
Kehadiran di sini mesti dipahami dalam makna partisipasi. Keaktifan Gereja dalam pengudusan dunia merupakan ungkapan kehadiran yang bermakna. Kehadiran yang bermakna adalah kehadiran yang membebaskan dan menyelamatkan. Melalui kehadiran, setiap orang merasa disapa, diselamatkan. Kehadiran Gereja adalah menguatkan harapan, menyampaikan kabar suka cita, memberitahukan bahwa tahun rahmat Tuhan telah datang, memberitakan pelawatan Allah.
Inkarnasi adalah bentuk cinta kasih pastoral terbaik
Konsep “kehadiran yang menyelamatkan” bagi orang Kristiani berpuncak pada “inkarnasi.” Allah mengosongkan diri untuk memperebutkan manusia kembali kepada-Nya. Allah masuk dalam duka dan derita manusia, untuk memberhentikan atau melepaskan dari duka-derita itu. Yesus masuk dalam dunia secara nyata dan penuh merupakan “kehadiran profetis.” Allah hadir sepenuhnya, dengan kelengkapan “keilahian” untuk merombak dunia, merombak dunia yang tidak menantu, dunia yang karut-marut kepada kejelasan sebagai milik Allah.
Penutup
Dunia yang telah kehilangan hakekat kemanusia, atau kemanusiaan terjajah, manusia sendiri menjadi subjek yang melawan tindakan penjajahan dan mengembalikan manusia pada eksistensinya, ialah manusia Allah. Di mana manusia diciptakan untuk mengabdi Allah dan menghargai kelururan ciptaan, terutama manusia yang adalah gambar Allah sendiri. Mengambalikan gambar dan rupa Allah yang telah hilang, harus secara radikal dan tanpa pertimbangan. Pengobatan terhadap tindakan dosa dan penyesatan tidak bisa dikompromi, namun dituntaskan secepatnya dengan menggunakan cara Allah. Allah menghendaki dunia selamat, dan tanggungjawab menyelamatkan dunia ada di Gereja sebagai sarana yang dipergunakan Allah untuk menyelamatkan. Gereja wajib bermisi untuk membebaskan, atau menyelamatkan manusia yang sedang teralienasi dalam situasi palsu yang mematikan dan membinasakan.
Daftar Pustaka
Dister, Nico Syukur, Teologi Sistematika: Allah Penyelamat, kanisiua, Yogyakarta, Kanisius, 2017
Rahner, Karl, “Priest dan Poet,” Theological Investigations, vol.3, terj. Karl-H, Helicom, New York, 1967
Goergen, J Donal, Imam Masa Kini, Ledalero, Maumere, 2002
Roger, Simon, Gramci Political Tought, Lawrence, London, 1991
Griffin, Michael, Gereja dan Panggilannya dewasa ini, BPK: Gunung Mulia, Jakarta, 1991
Leteng, Hubert, Spiritualitas imam Projo: Berakar pada Gereja Lokal, Kanisius, Yogyakarta, 2014
Konsili Vatikan II, Gaudium et spes, Art. No.1
Ensiklik Benediktus XVI, Deus Caritas Est, 25 Desember 2000
Presbyterium Ordinis, dalam Walter Abbot, The Documents of Vatican II, Guild Press, 1966
Ensiklik Yohanes Paulus II, Mater Et Magistra, 15 Mei 1961Tadelly,
Reynaldo Fullgentio, Merasul Lewat Internet, Kanisius, Yogyakarta, 2009
Ensiklik Yohanes Paulus II, Pastores Dabo Vobis, Maret 15 1992
Komentar
Posting Komentar