PT. FREEPORT INDONESIA
TUTUP PT. FREEPORT INDONESIA:
Membuka Ruang Refrendum Bagi Rakyat Papua
Marius Goo*
PT. Freeport Indonesia mengeksploitasi alam Papua, khususnya di tanah Amungsa cukup lama. Perjanjian kontrak pun hingga kini masih belum jelas. Masyarakat setempat bukan menjadi pemilik, subjek, namun menjadi objek. Mereka dikorbankan. Bahkan, mama Yosepha Alomang dalam buku “Yosepha Alomang: Pergulatan seorang perempuan Papua melawan penindasan,” yang ditulis oleh Benny Giyai dan Yafet Kambai menceritakan, rakyat pemilik hak ulayat menjadi korban hanya karena mau mengambil emas. Mama Yosepha secara tegas menyampaikan, demi pengamanan PT. Freeport tidak sedikit militer Indonesia yang dilibatkan. Pemerintah Indonesia pun masih membisu dengan semua kejadian yang terjadi di area PT. Freeport. Sering kali “hanya demi emas Papua, mas Papuanya dikorbankan.” Emas yang sedang diambil bukannya makin membuat orang Papua makin berkembang, namun sebaliknya orang Papua makin terpuruk dan terperosok. Hasil emas selalu digunakan untuk Pembangunan di Papua, namun pembangunan yang megah dan mewah makin menindas orang Papua sendiri. Dari realitas ini, rakyat Papua merasa lebih berperikemanusiaan atau lebih adil jika PT. Freeport ditutup. Tentu memiliki alasan kontradiktif mengapa PT. Freeport tidak mau ditutup, sebaliknya mengapa rakyat Papua meminta PT. Freeport untuk ditutup.
Mengapa PT. Freeport tidak mau ditutup?
PT. Freeport tidak mau ditutup tentu mempunyai beberapa alasan:
Pertama, Alasan Ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemerintah Indonesia mempunyai pertimbangan ekonomis. Pemerintah tidak memilihat hakekat alam dan kemanusiaan, malainkan hanya dari segi ekonomis. Pemerintah merasa jika PT. Freeport ditutup, Ekonomi Negara akan tergoncang, sekaligus NKRI jatuh miskin. Pemerintah Indonesia Merasa PT. Freeport bukan salah satu, melainkan satu-satunya yang menafkahi Negara.
Kedua, alasan hubungan keamanan antarnegara. Pemerintah merasa takut hubungan antarnegara terganggu jika PT. Freeport Indonesia ditutup. Terlebih dengan Negara-negara yang telah menanam saham di PT. Freeport. Salah satunya dan terkenal adalam Amerika.
Ketiga, alasan Pembangunan NKRI. Pemerintah Indonesia merasa takut dengan kemunduran pembangunan jika PT. Freeport ditutup. Pemerintah Indonesia merasa, bahkan menyadari pembangunan Indonesia terjadi hanya karena adanya PT. Freeport Indonesia.
Untuk alasan-alasan itu, pemerintah pun tak segan-segan menurunkan militer untuk menjaga keamanan. Kejadian yang sering terjadi di areal PT. Freeport atas nama keamanan juga demi ekonomi dan pembangunan tidak sedikit manusia yang telah menjadi korban. Bahkan yang menjadi korban adalah masyarakat pemilik hak ulayat. Di sini, mama Yosepha pernah bertanya kepada Tuhan, “Tuhan kenapa Tuhan ciptakan semua ini di tanah saya, kenapa semua kekayaan ini Tuhan berikan kepada saya, jika hanya karena semua ini, saya punya orang-orang dibunuh, saya punya orang-orang dihabiskan. Tuhan bawa pergi semua itu ke tempat lain, karena kami mau hidup aman di atas tanah kami.” Ungkapan mama Yosepha ini muncul dari tragedi, pengalaman pahit yang dialami dengan kehadiran PT. Freeport. Di mana atas nama ekonomi, keamanan dan pembangunan kekayaan alam dirusak-habis, sekaligus manusianya menjadi korban.
Catatan Yang Mesti Diperhatikan
Jika dianalisa alasan-alasannya di atas, pemerintah Indonesia masih berkutak pada konteks ekonomis, pembangunan dan keamanan. Pemerintah masih belum mampu memikirkan kehidupan, kebergunaan dan eksistensi dari lingkungan alam. Karena itu, bersama para pemilik ulayat, Orang Asli Papua (OAP) meminta untuk PT. Freeport ditutup. Permintaan OAP meminta PT. Freeport ditutup agar:
Pertama, Pemerintah Indonesia lebih peka pada kemanusiaan. Pemerintah yang selama ini masih belum mampu melihat kemanusiaan, di mana pengamanan selalu menggunakan pendekatan militer, atau dikenal dengan istilah “kekerasan militer.” Kini pemerintah berusaha untuk menggunakan pendekatan kemanusiaan, pendekatan hukum dan keadilan, atau hukum dan perdamaian yang tepat dan bermartabat.
Kedua, pemerintah wajib melihat hutan Papua dari eksistensi kehidupan, bukan hanya sebatas ekonomi dan pembangunan bangsa. Pandangan atau pendekatan “pembangunan” bagi orang Papua tidak memberikan dampak yang positif. Bahkan Orang Papua menilai istilah pembangunan yang digunakan merupakan pengalienasian, pembohongan terhadap rakyat Papua dan dunia.
Ketiga, Pemerintah wajib memberikan respon yang positif atas permintaan rakyat Papua. Pemerintah mesti memberikan respon yang positif atas permintaan rakyat Papua untuk menutup PT. Freeport. Hal ini penting diperhatikan karena banyak kali respon pemerintah atas tuntuntan rakyat Papua “tutup PT. Freeport” secara negatif dan brutal.
Membuka Ruang Refrendum
Isu pembangunan Papua tidak memberikan dampak yang positif bagi rakyat Papua. Bahkan membuat rakyat Papua menjadi makin menderita. Kehadiran PT. Freeport pun menjadi biang pembantaian rakyat pemilik ulayat. Kehadiran PT. Freeport memberikan dampak buruk bagi rakyat setempat dan lingkungan alam.
Rakyat Papua meminta untuk PT. Freeport harus ditutup. Pemerintah wajib membuka dialog untuk menyampaikan pendapatnya secara bebas dan terbuka tanpa tekanan. Karena itu, Amerika sebagai pemilik saham PT. Freeport harus membuka diri kepada permintaan rakyat Papua untuk menyampaikan pendapatnya melalui demokrasi terpimpin dan terhormat, sehingga tidak ada yang dirugikan dalam pertambangan dan eksploitasi lingkungan alam Papua. Rakyat Papua meminta PT. Freeport ditutup artinya, Amerika serikat sebagai yang berkuasa memfasilitasi Refrandum bagi rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri.
Penulis adalah seorang Mahasiswa yang sedang mengenyam pendidikan di Tanah Abang*
Komentar
Posting Komentar