CERPEN: BINTANG FAJAR AKAN BERSINAR
Di malam yang sepih, di atas gunung Sygloap, duduklah Buna merenung derap langkah kehidupan manusia Papua. Ada juga di sampingnya sang kekasihnya, namanya Makii. Di malam itu yang ada gelapnya malam dan angin sepoi-sepoi yang menembusi tubuh mereka. Dalam benak mereka, mereka hanya memikirkan nasib hidup manusia Papua. Karena untuk itulah mereka naik ke gunung Sygloap.
Mereka duduk bermenung kira-kira tiga jam lamanya dalam sepinya malam itu. Mereka duduk tanpa kata, lagi suara. Keduanya saling menyapa dengan senyum dan kontak batin. Bunyi angin dan kekelaman malam menjadi saksi di malam kesendirian mereka. Mereka masuk dalam nadi kehidupan manusia Papua. Mereka merasakan secara sungguh-sungguh kepedihan yang dialami manusia Papua. Mereka memikirkan kehidupan manusia Papua. Mereka melihat secara riil apa yang terjadi di atas manusia Papua dan tanah Papua.
Dalam beningnya malam yang menggeramkan, sang kekasihnya menyahut, “Bun aku tak tahan lagi, aku tak tahan lagi.” Sang kekasihnya, “Ma, apa yang engkau rasakan saat ini.” Kemudian ia menceritakan apa yang dirasakan. “Bun, aku rasanya mau mati saja. Aku tak tahan melihat semua kenyataan ini. Sungguh berat. Sungguh tidak bisa aku bayangkan lagi. Kepalaku sudah hampir mau pecah. Ketika aku melihat media, banyak manusia Papua hidup bermasalah. Bahkan ada yang ditembak mati. Aku juga kadang menemukan manusia Papua kian hari hidupnya tidak menentu. Manusia Papua makin hari makin tertinggal, makin mundur. Saya merasa ini proses akhir hidup manusia Papua, Inilah yang aku rasakan malam ini, Bun.”
Kekasihnya harus menanggapinya. Kekasih perempua itu tidak boleh selamanya tinggal dalam perasaan itu. Karena itu dalam benaknya timbul untuk menghibur kekasihnya, walaupun dirinya masih belum yakin secara pasti masa depan bagi manusia Papua. Katanya, “Ma, inilah kenyataan kita. Aku juga tahu, aku juga melihat, aku memikirkan dan merasakan apa yang engkau rasakan. Aku adalah tulang dan darahmu. Aku juga manusia Papua. Namun apa daya untuk memperbaharui semua ini. Kita hanya manusia kampung, tiada kekuatan dan tiada wadah untuk mengubah kenyataan ini. Mungkin ini adalah nasib, kehendak Tuhan untuk kita. Satu hal yang pasti, yang aku temukan adalah “ malam ini akan berakhir, besok akan jadi pagi dan mata hari akan bersinar kembali.” Hal inilah yang menghibur aku dalam perasaanku malam ini, Ma.”
Walaupun sang kekasihnya memberikan harapan akan adanya terang, cahaya, bintang, bulan atau mata hari yang menerangi kegelapan malam yang sering digambarkan sebagai ketakutan, kekawatiran, kejahatan, penindasan, penjajahan, dosa dan kematian; ia masih belum yakin secara pasti peneguhan sang kekasihnya. Ia masih sangsi, masih ragu dengan lajunya kematian manusia Papua, pesatnya penderitaan yang dialami orang Papua. Maka, ia pun bertanya lagi: “Bun, yakinkah bahwa manusia Papua akan mengalami siang, terang, cahaya pada hari sesok. Akankah malam ini berlalu? Akankah Bintang Fajar akan menyinari negari ini? Akankah ada pagi untuk manusia Papua?”
Pertanyaan kekasihnya membuat Bun tak dapat berkata-kata lagi. Bun bingung kembali. Ia pun terkesima dalam kenyataan hidup manusia Papua. Tanah Papua yang kian hari bukan milik manusia Papua lagi. Bun tak mampu memberikan jawaban yang pasti. Bun pun menyadari bahwa dirinya tidak punya kekuatan, tidak punya apa-apa untuk mengubah situasi yang ada. Apalagi masih banyak manusia Papua yang menjual tanah, juga makan uang tanah. Bahkan yang makan uang tanah bukan orang kampung, melainkan mereka yang duduk di birokrasi, para pejabat dan kaum terpelajar.
Walaupun demikian, Bun sebagai seorang laki-laki harus memberikan penghiburan yang pasti kepada kekasihnya. Maka dalam kebingungannya, ia berusaha menjadi seorang manusia tegar, hadir sebagai seorang laki-laki yang perkasa. Ia pun berkata, “Ma, benar bahwa penderitaan orang Papua makin berat dan tak dapat diatasi lagi. Tentang hal ini banyak manusia Papua, juga orang Indonesia dan orang luar negeri memprediksikan bahwa manusia Papua itu akan punah. Ma juga merasa bahwa manusia Papua akan punah. Merasa tiada masa depan bagi manusia Papua. Namun, saya dikuatkan dengan pertanyaan saya kepada Allah. pertanyaanku, Allah, apakah Engkau menciptakan manusia Papua untuk punah, apakah tanah Papua yang Engkau berikan untuk manusia Papua hanya untuk mendatangkan penderitaan bagi kami manusia Papua? Di sini, aku menemukan jawaban, bahwa Tuhan punya rencana terindah untuk menyelamatkan manusia Papua. Allah punya rencana untuk menerbitkan Sang Fajar itu, agar ada cahaya, terang untuk menerangi Papua, dan bangsa-bangsa.”
Tanggapan yang diberikan Bun kepada kekasihnya, membungkam kekasihnya untuk tidak bertanya lebih lanjut. Bagaimana tidak, sebab Bun menanggapinya dengan mengatasnamakan Allah. Sebab bagi manusia Papua seluruh hidup diserahkan kepada Allah. Jawaban demikian pasti diterima oleh manusia Papua, siapa pun dia. Sebab manusia Papua itu, sungguh manusia beriman. Jawaban yang tak dapat mengundang pertanyaan ini, sang kekasihnya memastikan kepastian keberadaan Allah dan cara kerja Allah untuk membebaskan manusia, kapan dan darimana. Sang kekasihnya bertanya: “Jika nasib hidup kita satu-satunya bergantung pada Allah, Bahwa Allah punya rencana untuk menyelamatkan manusia Papua, di mana Allah itu? Siapa Allah itu? Kapan Allah itu akan bertindak? Tempatnya di mana?”
Bun merasa pertanyaan ini sungguh berat, amat berat. Pertanyaan semacam memikul dunia di atas pendaknya. Ia pun tertunduk tersipu-sipu. Amat berat untuk dijawab. Ini adalah pertanyaan berat, sekaligus ujian. Bagaimana harus mempertanggung-jawabkan imannya. Pada satu sisi Bun jengkel pada kekasihnya karena pertanyaan berat itu, pada sisi yang lain harus menunjukkan eksistensinya bahwa dirinya adalah orang beriman Kristiani yang tulen. Maka ia pun mulai memutar kembali memori hidup, sejak kisah-kisah dalam kandungan yang disaksikan oleh orang tua tentang dirinya, hingga kini, mala mini bersama kekasih. Ia mulai memikirkan karya-karya Allah yang membebaskan hidupnya, sambil berguru pada karya-karya Allah bagi bangsa lain, terutama bangsa Israel yang diperbudak oleh bangsa Mesir.
Walaupun berat, sekaligus rahasia harus menceritakan pengalaman hidupnya, pengalaman suka-duka yang dilaminya selama hidup. Alasannya, berbicara tentang Allah berarti berbicara tentang pengalaman kehidupan bersama Allah sendiri. Allah yang menyertai kehidupan. Maka ia pun berkata, “Ma, pertanyaan ini tak dapat secara sempurnah di sini, dalam waktu yang sesingkat-singkat ini. Siapakah aku ini? Aku hanya manusia biasa yang hidup dan mati pun tidak tahu. Aku ada dalam waktu dan tempat yang terbatas. Allah itu ada di mana-mana, Allah itu melampaui, tak terbatas. Kalaupun aku menjelaskan belum tentu benar, belum tentu juga salah. Namun, dalam penghayatan iman saya, saya yakin secara penuh, utuh, bahwa Allah itu ada. Ia ada bersama saya, menyertai hidup saya. Saya yakin bahwa Allah yang menyertai saya hingga saat ini, Allah itulah yang menyertai tete-nenek koyong hingga manusia pertama, entah siapa moyang pertama saya yang Allah ciptakan. Saya yakin bahwa sejak Allah menciptakan, Allah itu ada bersama hingga saat ini. Ia hidup dan ada dalam kehidupan. Allah tinggal di mana ada kehidupan dan sepanjang segala masa. Kapan Sang Fajar itu terbit merupakan satu perjuangan bersama Allah. Allah hidup bersama para pejuang kehidupan. Pada waktu yang ditentukan, ketika waktu tiba, Allah akan bertindak dan manusia Papua akan bersuka cita. Segala makluk akan memuji memuliakan Allah yang memberikan Bintang Kejora yang menerangi segala bangsa.”
Akhirya, sang kekasih menyadari bahwa hanya dalam Allah kehidupan manusia terjamin masa depan. Namun berdasarkan jawaban yang didapatkan dari kekasihnya bahwa harus melalui perjuangan. Berjuang dengan melibatkan Allah. Allah ada dari dulu dan sampai selama-lamanya di segala tempat. Allah hadir juga di tempat ini. Allah sendirilah yang mengundang untuk memikirkan nasib manusia Papua untuk kini dan masa depan. Ia pun yakin bahwa ‘Sang Fajar akan Bersinar lagi.’
Walaupun dalam keraguan dan harapan akan kepastian kecil, karena waktu menunjukkan jam stengah sebelas (22-30 WPB), mereka pulang ke rumah sambil mengantarkan sang kekasihnya, dengan takut-takut. Namun, satu hal yang diyakini, dan pasti bahwa “Sang Fajar akan bersinar Lebih Cerah pada waktunya.”
Tokoh dalam cerpen
Bun (Buna) sebagai kekasih laki-laki
Ma (Makii) sebagai kekasih perempuan
Penulis
Oleh, Goo Egedy
Komentar
Posting Komentar