KETIKA NKRI GAGAL MENGINDONESIAKAN RAKYAT PAPUA:
 Apa yang masih tersisa?
Anak Sepedaan. Doc Pribadi
Marius Goo*
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memasukkan Papua sejak 1 Desember  1969 melalui PEPERA. Hasil PEPERA hingga kini masih menuai pro-kontra. Pihak Indonesia mengatakan sah, sesuai jalur hukum, sementara Papua mengatakan tidak sah, cacat hukum. Orang Papua menilai cacat hukum karena pilihan, atau penentuan yang terjadi saat itu sepihak, yakni Indonesia melalui kekuasaan Negara dan kekuatan militer. Saat PEPERA berlansung terjadi intimidasi dan terror untuk meloloskan keingingan Indonesia, yakni menjadikan Papua bagian dari NKRI. Ketidakpuasan rakyat Papua, rakyat Papua terus melakukan aneka perlawanan, bahkan  berlangsung hingga kini. Tentu sejarah perlawanan ini penuh dengan aneka pengalaman, hingga pada saat-saat tertentu rakyat Papua merasakan penindasan yang sangat tidak manusiawi. Misalnya, operasi-operasi militer yang dialami rakyat Papua di hampir setiap tempat. Semua tindakan ketidakmanusiaan negara yang dialami oleh terhadap rakyat Papua, rakyat Papua menilai sebagai kegagalan Indonesia menjadikan Papua bagian dari NKRI. Karena itu, apa pun kebijakan yang diambil untuk membangun Papua, rakyat Papua sudah tidak percaya kepada negara Indonesia. Jika rakyat Papua tidak percaya kepada negara, apa yang masih tersisa? Di sini akan dikemukakan kebijakkan atau tindakan yang masih tersisa bagi NKRI terhadap takyat Papua. 

NKRI GAGAL MENGINDONESIAKAN PAPUA
Perlawanan antara Indonesia dan Papua adalah perlawanan dua negara. Perlawanan itu berawal ketika rakyat Papua menginginkan, sekaligus mendeklarasikan kemerdekaan, yang dinamakan sebagai Bangsa Papua Barat sejak tahun 1961. Artinya, konflik yang terjadi bukan dalam negara, melainkan antarnegara yakni NKRI dan Papua Barat. Istilah yang sering dipakai adalah “NKRI harga mati” dan “Papua Merdeka harga mati.”
Kedua ideologi ini mewarnai kehidupan bangsa ini. Di samping NKRI membuat aneka kebijakan yang membangun Papua, ternyata rakyat Papua meresponnya dengan “ketidakpercayaan” pada NKRI. Sekalipun dengan niat yang tulus membangun Papua, rakyat Papua selalu tidak simpati lagi dengan NKRI. Rakyat Papua merasa telah ditipu, bahkan telah didustai. Misalnya, Otonomi Khusus (Otsus), Otonomi Plus, isu tentang pembangunan rel kreta api, dll., hanyalah penipuan, bahkan pendustaan. Di mana NKRI memasukan rakyat Papua bagian dari NKRI untuk dijaga,  namun toh akhirnya rakyat Papua dibantai, ditindas dengan aneka cara. Pengalaman luka dan derita, “Memoriam Passionis” yang masih tersimpan dalam lubuk rakyat Papua dari negara Indonesia sulit disembuhkan. Sebagaimana dikatan Arie Kriting, “Luka dan darah saudara-saudari di Papua, tidak bisa diganti dengan aspal dan bangunan.” Memoriam passionis ini sungguh tak terobati. Dan akhirnya, dapat disimpulkan bahwa NKRI gagal mengindonesiakan Papua. Kerena itu, apa yang masih tersisa?

YANG MASIH TERSISA
Yang masih tersisa adalah kebaikan NKRI terhadap rakyat Papua. Namun apakah kebaikan NKRI bagi rakyat Papua masih ada nilai? Tentu di sini akan menuai pro dan kontra pula.
Pertama, pro-masih ada nilai. Mereka yang pro atau masih ada nilai atas kebaikan NKRI bagi rakyat Papua adalah mereka yang netral, yakni mereka yang berdiri di garis tengah, tidak pro- Indonesia juga tidak pro-Papua Merdeka. Tentu mereka yang pro Indonesia merasa ada nilai bagi rakyat Papua mengenai kebaikan NKRI untuk Papua. 
Kedua, kontra-tidak ada nilai. Mereka yang kontra atau mengatakan tidak ada nilai bagi Papua atas kebaikan yang dilakukan, bahkan tidak ada kebaikan NKRI terhadap rakyat Papua adalah mereka yang pro Papua Merdeka. Mereka yang pro Papua merdeka tidak pernah melihat satu kebaikan pun dari NKRI terhadap rakyat Papua. Alasan utama adalah rakyat Papua tidak senang dengan pendekatan Indonesia yang amat militeristik dan tidak manusiawi. Tentu, bermula dari sejarah kelabu rakyat Papua di masa silam. Di mana banyak sekali rakyat Papua yang mati terbunuh dalam aneka operasi yang dilakukan terhadap rakyat Papua, juga melalui bidang-bidang lain yang tidak bersahabat. 
Rakyat Papua juga menilai Otsus, juga Otonomi Plus dan berbagai kebijakan pembangunan di Papua adalah penipuan terhadap mereka. Dalam ketidak percayaan rakyat Papua terhadap NKRI, negara harus mencari solusi atau jalan terbaik untuk memulihkan nama baik di hadapan rakyat Papua secara khusus juga di tingkat nasional, bahkan Internasional.  Mengapa, ditingkat internasional?
Pertama, jika secara nasional, Indonesia dan Papua adalah musuh: hukumnya bahwa musuh dan musuh masalah tidak pernah diselesaikan.
Kedua, rakyat Papua selama ini merasa tertipu dengan kebijakan atau perjanjian yang telah disepakati. Banyak kali negara tidak konsisten dengan kebijakan yang diambil. Contohnya, Otsus dan Otsus Plus, UP4B, dll.
Ketiga, jika melibatkan masyarakat internasional (PBB), kedua pihak: Indonesia maupun rakyat Papua merasa terbantu, satu tidak merasa diuntungkan, semantara yang lain dirugikan. 
Karena itu yang masih tersisa dari perebutan kepercayaan, sekaligus penyelesaian konflik yang terjadi  berkepanjangan antara NKRI dan rakyat Papua adalah Refrendum atau Dialog.

SOLUSI HANYA REFERENDUM
Otsus yang menjadi Bargaining tertinggi antara NKRI dan rakyat Papua dapat dikatakan telah gagal. Karena hanya tersisa 2 tahun dari sekarang (2018-2020). Perjanjiannya adalah Otsus mengangkat harkat dan martabat orang Papua, namun hingga kini masih banyak orang Papua yang belum, bahkan tidak merasakan dana Otsus. Hampir semua bidang kehidupan belum memberikan pelayanan yang maksimal bagi Orang Asli Papua (OAP). Karena itu, solusi yang tepat adalah melakukan referendum.
Referendum adalah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua. Negara harus membuka diri, sekaligus mengimplementasikan demokrasi tertinggi negara dengan memberikan ruang sepenuhnya kepada rakyat Papua menyampaikan pendapatnya atau menentukan nasib sendiri. 
Referendum adalah solusi terakhir dari setiap dan semua persoalan yang dihadapi rakyat Papua. Melalui referendum NKRI merebut kembali kepercayaan yang telah tiada dari rakyat Papua terhadap Negara. 
Akhirnya, setelah negara memperebutkan kembali kepercayaan rakyat Papua tanpa paksaan dan intimidasi, negara tetap eksis untuk memulihkan hubungan-hubungan yang rusak termasuk memulihkan nama baik yang telah tercoreng karena hubungan tidak harmonis dengan rakyat Papua. Selamat membuka ruang referendum bagi rakyat Papua.

Penulis adalah Mahasiswa Pasca-Sarjana STFT Widyasasana Malang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

YESUS, ORANG MISKIN DAN PENDOSA

UPACARA REKONSILIASI DI PAROKI SALIB SUCI MADI

VERONIKA MENDAPAT GAMBAR WAJAH YESUS